Selasa, 14 Maret 2017

Akuntansi Murabahah

MAKALAH
AKUNTANSI MURABAHAH
Makalah ini ditujukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
Akuntansi Syariah
Dosen Pengampu:
Erlyna Tri Rohmiatun,.SE.,Ak.,MM


Disusun oleh Kelompok 7 :
Kelas IIIC
                                Dian Pitaloka                          (17401153064)
           Nisya’ul Choiriyah                  (17401153106)
           Yulia Nadzirah                        (17401153095)
           Devy Sartyka Ayuningtyas      (17401153356)
           Nur Fitriyani                            (17401153356)
                         
JURUSAN PERBANKAN SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI TULUNGAGUNG
OKTOBER 2016

KATA PENGANTAR


Bismillahirrohmanirrohim
Syukur Alhamdulillah senantiasa penulis haturkan ke hadirat Allah SWT. Yang telah melimpahkan rahmat, taufiq, serta hidayahnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Etika dan Perilaku Bisnis Syariah”
Sholawat serta salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada junjungan kita Nabi agung Muhammad SAW yang telah memberi suri tauladan kepada kita lewat ajaran Islam.
Penulis menyadari, bahwa dalam penulisan makalah ini terdapat banyak kekurangan dan kelemahannya. Namun karena adanya dukungan dari berbagai pihak maka hambatan tersebut dapat kami atasi.
Oleh karena itu penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada:
1.        Dr. Maftukhin, M. Ag. Selaku ketua IAIN Tulungagung yang telah memberikan kesempatan kepada kami untuk menimba ilmu di IAIN Tulungagung.
2.        Erlyna Tri Rohmiatun,.SE.,Ak.,MM selaku dosen pengampu mata kuliah Pengantar Bisnis Syariah yang telah membimbing dan mengarahkan kami untuk mendapat pemahamaman yang benar mengenai mata kuliah ini.
3.        Semua pihak yang telah membantu terselesainya penyusunan makalah ini.
Penulis merasa bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis mengharap kritik yang sifatnya membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Akhirnya semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak dan semoga kita selalu mendapatkan petunjk dari Allah SWT. Amin.
 Tulungagung, 18 Oktober 2016

  
Penulis





DAFTAR ISI







BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Akuntansi syariah dapat diartikan sebagai proses akuntansi atas transaksi – transaksi yang sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan Allah SWT. Oleh karena itu, akuntansi syariah diperlukan untuk mendukung kegiatan yang harus dilakukan sesuai syariah, karena tidak mungkin dapat menerapkan akuntansi yang sesuai dengan syariah jika transaksi yang akan dicatat oleh proses akuntansi tersebut tidak sesuai dengan syariah.
Suatu perekonomian negara yang dikatakan sehat dan stabil jika dilihat dari tiga unsur sistem keuangan negara yaitu sistem moneter, sistem perbankan dan sistem keuangan lembaga bukan bank. Salah satu yang mendorong untuk penumbuhan ekonomi suatu negara, maka ketiga sistem tersebut harus berjalan dengan baik. Oleh karena itu peranan perbankan menjadi sangat penting. Berdasarkan pengaruh dari krisis keuangan global yang  terjadi bank syariah mampu bertahan dibanding bank konvensional yang mengalami dampak krisis global tersebut, sehingga pada saat itu banyak ilmuan yang melirik untuk menggunakan sistem ekonomi syariah yang dipakai dibank syariah. Salah satu pembiayaan yang ada di bank syariah adalah pembiayaan murabahah, yaitu prinsip jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang telah disepakati bersama. Untuk memudahkan pihak – pihak yang berkecimpung dalam perlakuan ekonomi dibutuhkan suatu sistem keuangan yang dapat memudahkan pihak – pihak yang akan memakainya.
Dalam makalah ini akan dibahas mengenai instrumen keuangan syariah yang lebih spesifik. Akad dalam jual beli cukup banyak, dan kali ini akan dibahas mengenai akuntansi akad murabahah.








B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana pengertian dan hukum Akuntansi Murabahah ?
2.      Bagaimana problematika Akuntansi Murabahah dalam Bank Syariah ?
3.      Bagaimana perbandingan antara Pembiayaan berbasis Akuntansi Murabahah dan Bunga Tetap ?
4.      Apa saja kendala yang dihadapi dalam penerapan Akuntansi Murabahah ?
5.      Bagaimana contoh aplikasi Akuntansi Murabahah  ?

C.    Tujuan Pembahasan
1.      Memahami dan mengetahui pengertian dan hukum Akuntansi Murabahah
2.      Memahami dan mengetahui problematika Akuntansi Murabahah dalam Bank Syariah
3.      Memahami dan mengetahui perbandingan antara pembiayaan berbasis Akuntansi Murabahah dan Bunga Tetap
4.      Memahami dan mengetahui kendala yang dihadapi dalam penerapan Akuntansi Murabahah
5.      Memahami dan mengetahui contoh aplikasi Akuntansi Murabahah















BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian dan Hukum Akuntansi Murabahah
[1]Murabahah adalah akad jual beli atas suatu barang, dengan harga yang disepakati antara penjual dan pembeli, setelah sebelumnya penjual menyebutkan dengan sebenarnya harga perolehan atas barang tersebut dan besarnya keuntungan yang diperolehnya. Landasan Hukum Murabahah yaitu :
a.       Al – Quran Surah Al – Baqarah [2] : 275
“Orang – orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang – orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni – penghuni neraka; mereka kekal didalamnya.
b.         Al – Quran Surah Al – Nisa’ [4] : 29
“Hai orang – orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu, dan janganlah kamu membunuh dirimu (larangan membunuh diri sendiri mencakup juga larangan membunuh orang lain, sebab membunuh orang lain berarti membunuh diri sendiri, karena umat merupakan suatu kesatuan); sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang Kepadamu”.
c.          Hadis Riwayat Tirmidzi
“Pedagang yang jujur dan terpercaya, maka dia bersama Nabi, orang – orang yang jujur dan para syuhada”.
Untuk menjadi transaksi yang sah, murabahah memiliki rukun dan syarat yang harus dipenuhi yaitu :
a.  Rukun Murabahah
a)      Ba’iu (penjual)
b)      Musytari (pembeli)
c)      Mabi’ (barang yang diperjualbelikan)
d)     Tsaman (harga barang)
e)      Ijab qabul (pernyataan serah terima)
b. Syarat Murabahah
a)      Syarat yang berakad (ba’iu dan musytari) cakap hukum dan tidak dalam keadaan terpaksa.
b)      barang yang diperjualbelikan (mabi’) tidak termasuk barang yang haram dan jenis maupun jumlahnya jelas.
c)      Harga barang (tsaman) harus dinyatakan secara transparan (harga pokok dan komponen keuntungan) dan cara pembayarannya disebutkan dengan jelas.
d)     pernyataan serah terima (ijab qabul) harus jelas dengan menyebutkan secara spesifik pihak – pihak yang berakad.

B.     Problematika Akuntansi Murabahah dalam Bank Syariah
            [2]Perkembangan perbankan syariah yang begitu cepat telah memacu perkembangan produk layanan dan jasa agar dapat melayani keperluan masyarakat. Sebelum tahun 1997 produk perbankan syariah terbatas kepada giro, tabungan, dan deposito pada sisi penghimpunan dana, sedangkan pada sisi pembiayaan hanya dua produk yang digunakan yaitu bay bithaman (digunakan untuk pembiayaan investasi) dan ‘ajil murabahah (untuk pembiayaan modal kerja).
Pada tahun 1997 terjadi perubahan besar dalam pengembangan produk perbankan syariah, terutama dalam pembiayaan. Produk pembiayaan tidak lagi dikategorikan untuk tujuan investasi atau modal kerja, melainkan dibagi menurut jenisnya. Produk pembiayaan dibagi menjadi 3 jenis besar yaitu :
1.   Jual beli (murabahah, salam, dan istishna)
2.   Sewa (ijarah, dan ijarah muntahia bittamlik)
3.   Bagi hasil (mudharabah dan musyarakah)
Dari sekian produk yang dikembangkan perbankan syariah, sampai saat ini murabahah adalah produk yang mendominasi portofolio hampir seluruh pembiayaan. Terdapat berbagai alasan mengapa murabahah sering digunakan daripada produk lainnya yaitu :
1.   Adanya kemiripan dengan kredit yang biasa dilakukan dalam perbankan.
2.   Nasabah mudah mengetahui kewajiban yang harus ia bayarkan tiap bulan/minggu, bahkan dapat mengetahui berapa diskon yang akan didapatkan apabila pelunasannya dipercepat.
a.   Murabahah dalam Konsep Fiqih
Murabahah adalah jual-beli pada harga awal (pokok) dengan tambahan keuntungan. Maksudnya penjual memberitahukan kepada si pembeli berapa harganya dan berapa keuntungan yang diperoleh si penjual secara terperinci. Murabahah dikenal dalam fiqh sebagai salah satu dari bay al-‘amanah yaitu jual beli yang terjadi berdasarkan kepercayaan kepada penjual yang menjelaskan tentang harga beli terhadap barang tersebut.
b.   Murabahah dalam Konsep Pengaturan
Akad murabahah sebagai salah satu metode pembiayaan bank syariah mendapat perhatian dari berbagai pihak antara lain :
1.      Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN). DSN telah menerapkan minimal tiga fatwa mengenai murabahah yaitu pembiayaan murabahah, uang muka  dalam murabahah, dan diskon dalam murabahah.
2.      Undang-undang Perbankan dan Peraturan Bank Indonesia. UU No. 7 tahun 1992 sebagaimana telah disempurnakan oleh UU N0. 10 tahun 1998 tentang perbankan, memuat tentang murabahah sebagai salah satu prinsip pembiayaan bagi bank syariah.
3.   Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Organization (AAOIFI) yang berpusat di Bahrain, mengkategorikan murabahah hanya sebagai instrumen pembiayaan lengkap dengan perlakuan akuntansi dan aturan hukum syariahnya.
4.   Islamic Financial Service Board (IFSB) yang merupakan asosiasi bank sentral yang menyusun pengaturan dan pengawasan untuk perbankan syariah memasukkan murabahah dalam kategori jual beli. IFSB merinci dalam standar kontrak yang dikeluarkannya bahwa murabahah hanya berlaku untuk pembiayaan jual-beli barang yang kasat mata, bukan dalam bentuk surat berharga.
5.      International Islamic Financial Market (IIFM) menggunakan murabahah sebagai instrumen likuiditas, ketika bank-bank syariah yang kelebihan likuiditas dapat ditempatkan pada IIFM yang kemudia mengelolanya dalam pasar komoditi.

C.    Perbandingan antara Pembiayaan Berbasis Akuntansi Murabahah dan Bunga Tetap
Tujuan perbandingan ringkas di sini adalah untuk melihat apakah ada perbedaan yang signifikan antara pembiayaan dengan Murabahah dengan pembiayaan lewat bunga tetap untuk tujuan – tujuan yang sama. Perbadingan difokuskan pada aspek – aspek berikut : harga pembiayaan, risiko dalam pembiayaan murabahah, keamanan, hubungan antara bank dan pembeli, dan penyelesaian utang.
1.      Biaya untuk pembiayaan
Dinyatakan bahwa ketika bank konvensional meminjamkan uang. Misalnya, untuk pembelian barang – barang tertentu, bunga yang dikenakan pada pinjaman dikaitkan dengan pokok pinjaman dan jatuh tempo pinjaman. Mereka menegaskan pula bahwa jika pinjaman adalah untuk tujuan semacam itu, maka bukan urusan bank konvensional mengenai berapa harga barang – barang itu bagi si nasabah. Hal utama yang menjadi perhatian bank konvensional adalah memperoleh suku bunga yang sedang berlaku bagi pengeluaran – pengeluaran yang semisal dalam hal risiko dan jatuh temponya. Tanggungjawab nasabahlah, setelah memperoleh pinjaman dengan suku bunga tertentu, untuk membeli barang – barang yang diperlukannya, berapa pun harganya. Dikatakan metode murabahah memastikan bahwa si nasabah mengetahui total harga barang sebelumnya. Hal ini, katanya, tidak akan diketahui dalam pembiayaan berdasarkan bunga, karena bunga dikenakan atas pinjaman – pinjaman yang disalurkan oleh bank tanpa memerhatikan apakah pinjaman tersebut mencukupi untuk membayar apa yang akan dibeli atau tidak. Kedua, suku bunga bisa berupa suku bunga tetap atau suku bunga tak tetap. Dalam hal suku bunga tak tetap, tentu lebih sulit lagi bagi si nasabah untuk sampai kepada harga total.
2.      Murabahah : Bebas Risiko atau Berbagi Risiko ?
Pembiayaan berdasarkan pembagian risiko yang diidentikkan dengan model teoretis perbankan Islam tidak tampak menjadi karakter utama praktik murabahah Islamic banking. Disamping itu, beberapa pendukung Islamic Banking mengatakan bahwa, bahkan dalam murabahah, faktor pembagian risiko tetap ada, yang itu menjadi alasan diambilnya laba. Berikut ini adalah pembahasan singkat tentang risiko – risiko yang terkait dengan : (i) barang, (ii) nasabah, dan (iii) pembayaran.
a.      Risiko yang Terkait dengan Barang
Islamic Banking membeli barang – barang yang diminta oleh nasabah murabahah nya, dan secara teoritis menanggung resiko kehilangan atau kerusakan pada barang – barang tersebut dari saat pembelian sampai diserahkan kepada nasabah. Bank, dengan kontrak murabahah, diwajibkan untuk menyerahkan barang kepada nasabah dalam kondisi yang baik. Islamic Banking, bagaimanapun juga, dalam praktiknya menghindari risiko – risiko tersebut dengan asuransi dan klausal kontrak. Klausal kontrak disusun sedemikian rupa sehingga membantu Islamic Banking untuk menghindari segala risiko yang terkait dengan barang. Misalnya, terkait dengan spesifikasi barang. Risiko dihindari dengan menempatkan tanggungjawab untuk menyatakan spesifikasi yang benar kepada nasabah dalam permohonan pembelian murabahah, bukan nama penyalurnya.
Harus dicatat bahwa kontrak murabahah umunya ditandatangani sebelum Islamic banking mendapatkan barang yang dipesan oleh nasabah (yaitu, sebelum kedatangan barang itu dipelabuhan atau digudang bank). Menurut kontrak, nasabahlah yang harus berhati – hati dan mematuhi hukum dan aturan yang terkait dengan pengimporan barang, rasio – laba, dan spesifikasi yang benar. Nasabahlah sendirilah yang menanggung semua tanggungjawab atas denda atau sanksi hukum yang diakibatkan dari pelanggaran hukum tersebut. singkatnya, bank tidak berkeinginan memikul tanggungjawab yang terkait dengan barang. Oleh sebab itu, segala risiko yang terkait dengannya, yang secara teoretis harus ditanggung bank, secara efektif telah terhindarkan.
b.      Risiko yang Terkait dengan Nasabah
Janji nasabah murabahah untuk membeli barang yang dipesan dalam suatu transaksi murabahah, menurut mayoritas fuqaha mazhab, tidaklah mengikat. Oleh sebab itu, nasabah berhak menolak untuk membeli barang ketika Islamic banking menawari mereka untuk penjualan. Dalam mempertahankan murabahah, Islamic Banking cenderung melakukan pembenaran terhadap laba yang diperoleh dari pelaksanaan murabahah mereka, terutama berdasarkan risiko bisnis yang ada dalam pelaksanannya. Risiko bank terhadap kemungkinan penolakan nasabah untuk membeli barang dapat dihindari dengan pembayaran uang muka (sepertiga dari total harga, misalnya), dengan jaminan, jaminan pihak ketiga, dan dengan klausal kontrak. Pembayaran uang muka akan bisa cukup untuk menutupi semua kerugian yang mungkin timbul dari pembuangan barang oleh bank, sebagai akibat penolakan semacam itu. Jika belum puas dengan kecukupan uang muka, bank bisa mempersyaratkan jaminan dan jaminan pihak ketiga untuk menutupi seluruh biaya murabahah atau sebagainya. Hal ini untuk menjamin pemenuhan klausal kontrak oleh nasabah, dan juga untuk menutupi harga barang dan laba yang disepakati dalam kontrak.
c.       Risiko-Risiko yang Terkait Dengan Pembayaran
Resiko tidak terbayar penuh atau sebagian dari uang muka, seperti yang dijadwalkan dalam kontrak, ada dalam pembiayaan murabahah. Islamic Banking menghindari risiko ini dengan adanya janji tertulis, jaminan, jaminan pihak ketiga, dan klausul kontrak yang menyatakan bahwa semua hasil dari barang-barang murabahah yang dijual kepada pihak ketiga dengan tunai maupun cicilan harus disimpan di bank sampai apa yang menjadi hak bank di bayar kembali sepenuhnya. Jika tidak adanya pembayaran itu disebabkan oleh faktor-faktor di luar kemampuan nasabah untuk mengontrolnya,
            islamic Banking  secara moral berkewajiban menjadwal ulang utang. Di pihak lain, jika nasabah memiliki kemampuan untuk membayar tepat waktu, tetapi ia tidak melakukannya, maka Islamic Banking beserta Dewan Syariah telah mengadopsi konsep ‘denda’ akan tergantung kepada ‘suku laba yang wajar’ pada dana bank yang diinvestasikan, yang merupakan opportunity cost (biaya untuk menutupi peluang yang hilang) dari modal (Mohammed, 1997: 16-17). Pada sebagian kasus, jika pelunasan dari uang muka tidak mungkin, Islamic Banking  akan menyita jaminan untuk menutupi uang muka.
            Seperti dipaparkan di atas, dalam praktik, Islamic Banking  secara efektif menghilangkan semua resiko dalam pelaksanaan murabahah. Murabahah, yang merupakan metode paling dominan dalam menginvestasikan dana dalam perbankan Islam, adalah untuk tujuan-tujuan praktis, benar-benar model investasi yang bebas risiko, memberikan keuntungan yang ditetapkan di muka kepada bank atas modalnya. Seperti yang diakui oleh laporan Council of Islamic Ideology, dalam murabahah terdapat “kemungkinan untuk mendapatkan laba bagi bank tanpa reisiko kemungkinan rugi yang harus dibagi, kecuali dalam hal kebangkrutan atau kegagalan di pihak pembeli”.[3]

D.    Kendala yang Dihadapi dalam Penerapan Akuntansi Murabahah
Berikut beberapa kendala yang umum ditemukan dalam penerapan murabahah :
1.   Ketentuan perpajakan. Murabahah adalah produk yang termasuk jenis jual-beli, maka ketentuan perpajakan memasukkannya sebagai produk yang terkena pajak, baik itu untuk kepentingan bank sendiri maupun untuk kepentingan nasabah.
2.      Ketentuan hukum. Murabahah yang diterapkan secara konsisten dalam perbankan syariah juga akan menghadapi masalah hukum. Seperti yang sudah dijelaskan bahwa nasabah akan mendapat celah untuk membantah bahwa ia berhutang kepada bank, karena yang diterimanya adalah barang bukan uang. Padahal kondisi hukum di Indonesia masih menganggap bahwa bank adalah lembaga pinjaman (uang) dan pinjaman itu akan efektif menjadi hutang apabila yang diberikan itu dalam bentuk uang.
3.      Sikap nasabah. Misalnya terdapat kasus, nasabah tidak ingin bank mengetahui tempat ia biasa membeli atau berbelanja. Dalam kasus ini syarat bahwa harga pokok atau awal harus diketahui oleh kedua belah pihak, namun dengan hal diatas maka syarat tersebut tidak terpenuhi.
4.   Sikap bank. Terkadang penyimpangan murabahah juga terjadi karena sikap para bankir yang cenderung mencari amna dan menghindari resiko, sehingga transaksi murabahah yang dilakukan terkesan dipaksakan untuk sesuatu yang memang tidak sesuai dengan murabahah itu sendiri.[4]




E.     Contoh Aplikasi Akuntansi Murabahah
a.   Penyaluran Dana Murabhahah
        Murabhahah merupakan salah satu produk penyaluran dana yang cukup digemari BMT karena karakternya yang profitable, mudah dalam penerapan, serta dengan risk-factor yang ringan untuk diperhitungkan. Dalam penerapan, BMT bertindak sebagai pembeli sekaligus penjual barang halal tertentu yang dibutuhkan nasabah. Mula-mula BMT membeli barang sebagaimana dimaksud kepada pihak ketiga dengan harga tertentu, secara langsung atau melalui wakil yang ditunjuk, untuk selanjutnya barang tersebut dijual kepada nasabah dengan harga tertentu setelah ditambah keuntungan (mark-up) yang disepakati bersama. Besarnya keuntungan yang diambil BMT atas transaksi murabahah tersebut bersifat ‘constant’, dalam pengertian tidak berkembang dan tidak pula berkurang, serta tidak terkait apalagi terikat oleh fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dolar. Keadaan ini berlangsung hingga akhir pelunasan hutang oleh nasabah kepada BMT.
Bila penambahan nilai hutang (berikut mark-upnya) dalam perjanjian murabahah tidak mungkin terjadi, pengurangan bisa saja dilakukan bila itu semata-mata karena kebijakan internal BMT sendiri, seperti misalnya ketika nasabah mampu membayar lunas hutangnya lebih cepat dari waktu yang telah dijadwalkan. Pengurangan beban pembayaran hutang nasabah kepada BMT dalam kasus tersebut tidak dapat diidentikkan dengan kebijakan haircut oleh bank dalam penyelesaian kredit “bermasalah”, serta tidak dapat pula dikatakan sebagai fenomena “berubahnya harga” atau bahwa harga barang yang dijual BMT kepada nasabah berubah lebih murah dari harga semula pada waktu aqad murabahah ditandatangani, karena perubahan seperti ini memang tidak dibenarkan dalam ajaran syariah, tetapi lebih merupakan bagian dari kompensasi (rukhshah) yang diberikan BMT kepada nasabah berprestasi. Kebijakan seperti ini lazim diwujudkan dalam bentuk pemberian hibbah atau bonus.
Adapun mengenai pembayaran harga oleh nasabah dapat dilakukan secara penuh setelah jatuh tempo, dapat pula diangsur setiap periode tertentu, misalnya sepekan atau sebulan sekali, selama jangka waktu yang disepakati. Murabahah yang pembayarannya oleh nasabah dilakukan secara berangsur lazim dikenal dengan istilah bai’ bitsaman ‘ajil (BBA) atau murabahah mu’ajjal.[5]
Dalam praktiknya, BBA berhasil menempati hampir 80% peta penyaluran dana BMT. Namun dari keseluruhan produk BBA yang disalurkan tersebut, dalam praktek tidak semuanya benar sesuai prinsip-prinsip syariah. Ada beberapa diantaranya yang dalan penerapan tidak memenuhi ketentuan yang mutlak adanya menurut syariah, seperti obyek barang yang berstatus ‘tidak jelas’ atau bahkan ‘tidak ada’ sama sekali. Fakta di lapangan sering menunjukkan hal demikian. Bahkan muncul kecenderungan di sementara BMT yang sengaja menerapkan aqad BMT semata-mata untuk mensiasati perolehan keuntungan atas pembiayaan yang disalurkannya kepada nasabah, kendati sebenarnya menurut syariah , terhadap pembiayaan tersebut tidak dapat diterapkan aqad BBA. Keadaan seperti ini tentu bila dibiarkan dapat merusak citra BMT sebagai lembaga keuangan yang mengklaim diri untuk tunduk dan patuh mengikuti aturan syariah. Bahkan dalam skala lebih luas pengaruhnya dapat menjangkau sampai ke level perbankan syariah. Ini mesti diwaspadai.
Pengelola yang cerdas memahami persoalan dan mendalami masalah syariah berikut metodologi pengambilan hukum-hukumnya, tentu memiliki kreatifitas sendiri dalam mencari celah yang memungkinkannya dapat mengakses produk BBA melalui cara-cara yang dibenarkan. Bila ini yang dilakukan, penerapan produk BBA dalam suatu transaksi murabahah antara BMT dengan nasabah dapat dibenarkan adanya sebagaimana contoh berikut ini:
Ahmad, 39 tahun, pengusaha muslim yang menekuni bisnis konveksi pakaian jadi, mengajukan permohonan pembiayaan kepada BMT Syirkah Mu’awanah sebesar Rp. 10.000.000 untuk memperbesar modal dengan harapan volume produksinya meningkat 50% sesuai permintaan pasar. Jangka waktu pengembalian 10 bulan, dan sebagai jaminan Ahmad menyerahkan satu unit kendaraannya yang ditaksir bernilai jual sekitar Rp. 20.000.000.

        Sebenarnya, berdasarkan keterangan lisan yang disampaikan Ahmad, model aqad yang tepat untuk diterpakan sesuai konteks kebutuhan adalah musyarakah, karena didalamya terkandung pengertian BMT menyertakan sebagian dana yang dibutuhkan Ahmad untuk pengembangan usaha miliknya, atau bisa juga mudharabah, bila proporsi bagi hasil dihitung sebatas plafon pembiayaan yang diberikan BMT, karena mudharabah menentukan keharusan shabib al-mal menanggung semua biaya usaha yang dibutuhkan mudharib. Jika model yang dipilih, Ahmad wajib memisah laporan keuangan sebagian usaha miliknya yang khusus dibiayai BMT agar perhitungan bagi hasilnya jelas dan nudah dilakukan.
Namun mengingat kedua model aqad tersebut resikonya cukup tinggi, diman bila terjadi kerugian pada usaha Ahmad BMT menanggung beban kerugian tersebut secara financial, BMT dapat mengusahakan agar aqad yang diterapkan menggunakan BBA dengan cara maminta pihak Ahmad bersedia menjual kendaraannya seharga Rp. 20.000.000 kepada BMT, untuk selanjutnya kendaraan tersebut dijual kembali kepada Ahmad dengan harga Rp. 23.000.000. Oleh karena dana yang dibutuhkan Ahmad hanya Rp. 10.000.000, BMT menganggap Ahmad telah membayar uang muka sebesar Rp. 10.000.000 pada saat dilakukannya penandatanganan aqad, sedang sisanya sebesar Rp. 13.000.000 dibayar berangsur dalam jangka waktu 10 bulan. Demikianlah maka, proses pemilihan (pemindahan) aqad BBA dari yang semestinya, sesuai konteks kebutuhan yang diajukan Ahmad, lebih cepat diterapkan kepadanya aqad musyarakah atau mudharabah, berjalan melalui celah dan cara-cara yang dapat dibenarkan syariah karena syarat dan rukunnya terpenuhi.
Lain halnya bila pemilihan aqad itu semata-mata didasari karena phobi terhadap aqad-aqad tertentu di luar BBA/murabahah, maka yang demikian tidak dibenarkan menurut syariah, sebagaimana di bawah ini :
1.   Karang Taruna desa Pakembaran, kabupaten Tegal Propinsi Jawa Tengah berencana menyelenggarakan pengajian akbar untuk memperingati Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI ke-54. Rencana anggaran biaya ditetapkan sebesar Rp. 3.000.000, yang sumbernya dihimpun dari masyarakat dan sponsorship. Oleh karena dana yang yang terkumpul baru Rp. 1.000.000, sementara tanggal pelaksanaan semakin dekat, karang taruna kemudian mengajukan permohonan pembiayaan kepada BMT sebesar Rp. 2.000.000 sebagai dana talangan, yang menurut rencana akan digunakan sebagai biaya akomodasi pembicara, sewa panggung, dan pengadaan sarana prasarana kegiatan yang dibutuhkan. Jangka waktu pengembalian direncanakan 2 minggu atau setengah bulan. Adapun sebagai jaminan pelunasan hutang, karang taruna memperoleh back-up daroi kepala desa setempat.
Setelah  dipertimbangkan dengan baik bersama pengurus, manajemen BMT memutuskan untukmengabulkan permohonan itu. Namun dengan alasan untuk menjamin perolehan keuntungan, diterapkan terhadapnya aqad murabahah, dimana BMT (seakan-akan) membeli ‘sejumlah barang’ yang dibutuhkan karang taruna untuk keperluan penyelenggaraan pengajian akbar seharga Rp. 2.000.000, untuk selanjutnya barang tersebut dijual kepada karang taruna seharga Rp. 2.120.000. ‘Sejumlah barang’ sebagaimana dimaksud BMT tidak semuanya ada dalam kenyataan. Kalaupun ada, jumlahnya sangat kecil, yakni untuk alokasi pembelian kertas-kertas, lem, bambu, kayu dan semacamnya.
Apa yang dilakukan manajemen BMT dengan menerapkan aqad murabahah sehubungan dengan karang taruna diatas, dari sisi syariah tidak dapat dibenarkan, karena sejumlah barang yang dimaksud BMT sebagian besar bersifat fiktif, kendati ada unsur kerelaan dari pihak karang taruna untuk menerapkan aqad murabahah. Karang taruna sendiri dalam kasus ini tidak mengerti apa sebenarnya yang dimaksud dengan murabahah itu. Dengan tidak terpenuhinya unsur-unsur aqad murabahah, pada contoh diatas tida sah atau invalid. Dalam prespektif syariah.
2.   MS, 52 tahun, pengrajin besi dari desa Tegal Propinsi Jawa Tengah, mendapat kucuran dana dari BMT sebesar Rp. 25.000.000 dengan aqad Al-Qardl dalam jangka waktu yang tidak ditentukan dan tanpa pernyataan jaminan, dengan suatu syarat, BMT diberi hak untuk menjual kursi besi lipat yang diproduksi perusahaan MS kepada mitra bisnisnya di kota Semarang. Namun diluar dugaan, pembiayaan tersebut mengalami kemacetan akibat orang kepercayaan MS berkhianat dengan memanfaatkan sejumlah dana yang dipercayakan BMT kepadanya untuk bisnis pribadi. Akibatnya, MS hanya mampu membayar angsuran pembuiayaan sebesar Rp. 5.000.000 yang dibayarkannya paa bulan ketiga. Manajemen BMT memutuskan untuk mengeluarkan kebijakan restrukturisasi pembiayaan dengan mengubah aqad qardl menjadi aqad BBA dengan ketentuan sebagai berikut :
1.   MS atas nama BMT seakan-akan membeli besi dalam kadar yang idak ditentukan seharga Rp. 27.500.000 terdiri atas sisa pokok yang masih harus dibayarkan sebesar Rp. 20.000.000 ditambah keuntungan sebesar Rp. 7.500.000 yang diminta BMT dengan jangka waktu pelunasan 1 tahun.
2.      Kedua, apabila selambat-lambatnya 1 bulan sejak tanggal jatuh tempo MS tidak dapat melunasi kewajibannya, BMT akan mengambil secara paksa asset milikinya yang mudah terjual untuk menjadi jaminan atas pelunsan utang miliknya.
Tindakan yang dilakukan manajemen BMT, sebagaimana contoh kejadian yang pertama, juga tidak dapat dibenarkan dari sisi syariah, karena objek jual belinya bersifat fiktif.
d.      Penerapan - Penerapan Metode Pembiayaan
a.      Penerapan Mark-up Pricing pembiayaan
       Jika Islamic Banking hendak menerapkan metode mark-up pricing, metode ini hanya tepat jika digunakan untuk pembiayaan yang sumber dananya dari restricted investment account (RIA) atau mudharabah muqayyadah. Mengapa demikian? Sebab, akad mudharabah muqayyadah adalah akad yang pemilik dana menuntut adanya kepastian hasil dari modal yang diinvestasikan. Oleh karena itu, pola yang diterapkan dengan memperhatikan :[6]
·      Historical average cost jika dana mudharabah muqayyadah dilakukan dengan on balance sheet.
·      Marginal cost of fund jika dana mudharabah muqayyadah dilakukan dengan off balance sheet.
·      Pooled marginal cost of fund jika dana mudharabah muqayyadah dilakukan dengan on balance sheet.
·      Weighted average projected cost jika dana mudharabah muqayyadah dilakukan dengan on balance sheet.

b.      Penerapan Target Return Pricing Pembiayaan
              Islamic Banking beroperasi dengan tidak menggunakan bunga. Mekanisme operasional dalam memperoleh pendapatan dapat dihasilkan berdasarkan klasifikasi akad. Akad yang menghasilkan keuntungan secara pasti disebut natural certainty contract, dan akad yang menghasilkan keuntungan yang tidak pasti disebut natural uncertainty contract.
            Jika pembiayaan dilakukan dengan akad natural certainty contract, maka metode yang digunakan adalah required profit rate (rpr).
        rpr = n . v

       Di mana n = tingkat keuntungan dalam transaksi tunai; v = jumlah transaksi dalam satu periode.
       Jika pembiayaan dilakukan dengan akad natural uncertainty contract, maka metode yang digunakan adalah expected profit rate (epr). Expected profit rate (epr) diperoleh berdasarkan :
a.    Tingkat keuntungan rata-rata pada industri sejenis.
b.   Pertumbuhan ekonomi.
c.    Dihitung dari nilai rpr yang berlaku di bank yang bersangkutan.

Penghitungannya :
Nisbah bank                     = epr/expected return bisnis yang dibiayai * 100%
Actual return bank           = nisbah bank + aktual return bisnis

Contoh kasus:
penentuan target return untuk kontrak dengan hasil tidak pasti
       Bank Permata memprediksikan nilai epr dari proyek Halal sebesar 15%. Dengan mempertimbangkan target return, bank menetapkan nisbah bagi hasil antara bank dan pengusaha 40:60 (bank:nasabah). Dari transaksi proyek Halal tersebut dihasilkan keuntungan akyual sebesar Rp. 30 Juta (modal yang digunakan, misalnya sebesar Rp. 75 juta). Bila bank Permata memprediksikan nilai epr dari suatu proyek sebesar 20% (dengan asumsi aktual return usaha yang dibiayai adalah Rp. 100 juta) dan target keuntungan aktual adalah Rp. 60 juta, maka dengan menetapkan tingkat perolehan aktual tetap, bank dapat menetapkan tingkat nisbah bagi hasil dengan pengusaha sebesar 30:70 (bank:nasabah)

Contoh kasus:
penentuan target return untuk kontrak dengan hasil pasti
       Pak Amin mempunyai modal usaha 100 juta. Modal tersebut diusahakan dalam bisnis perumahan. Setiap satu kali transaksi jual beli rumah, Amin mendapatkan keuntungan 10 juta atau 10%. Dari pengalaman sebelumnya selama satu tahun, Amin dapat menjual rumah sebanyak enam unit. Suatu ketika ada seseorang yang ingin membeli rumah tersebut dengan pembayaran di kemudian hari, yaitu pada akhir tahun.. apabila Amin menjual rumah tersebut dengan margin keuntungan 10% maka dia akan mengalami kerugian atau kehilangan peluang untuk melakukan penjualan rumah lagi sebanyak lima kali per unit. Oleh karena itu, untuk menutup hilangnya opportunity loss, Amin menawarkan harga rumah kepada seseorang tersebut dengan harga 160 juta atau margin keuntungan sebesar 60%. Dengan demikian, kita dapat melihat bahwa tingkat 60% tersebut adalah sama dengan tingkat keuntungan 10% dengan enam kali transaksi.
       Tingkat keuntungan jual beli juga dipengaruhi oleh factor lain, seperti tingkat harga di pasar. Meskipun demikian, penjual perlu mengacu kepada aturan fikih dalam menentukan harga kontan dengan harga cicilan. Dengan demikian, penentuan nilai rpr dapat dihitung dengan menggunakan rumus berikut ;
                                 rpr = Ï€ . v

Ï€ adalah tingkat keuntungan dalam transaksi tunai; v adalah jumlah transaksi yang bisa dilakukan dalam satu periode.

Contoh :
Bila dalam suatu pembiayaan yang memberikan hasil pasti (murabahah), bank menetapkan tingkat keuntungan sebesar 12%, sementara pembiayaan tersebut membutuhkan dana sebesar Rp. 200 juta, maka bank sudah bisa melakukan prediksi bahwa keuntungan aktual yang akan diperoleh adalah :
Keuntungan aktual yang diperoleh           = rpr x jumlah pembiayaan
                                                                  = 12% x Rp. 200 juta
                                                                  = Rp. 24 juta
  
c.       Penetapan Harga Jual Murabahah yang Efisien
       Bank pada umumnya telah menggunakan murabahah sebagai model pembiayaan yang utama. Praktik di Indonesia, pertofolio pembiayaan murabahah mencapai 70 – 80 %. Kondisi demikian ini tidak hanya di Indonesia, tetapi juga terjadi seperti di Malaysia dan Pakistan. Pada pembahasan sebelumnya telah dikemukakan ada sejumlah alasan yang diajukan untuk menjelaskan popularitas murabahah dalam operasi investasi perbankan syariah.
       Berdasarkan kondisi dan alasan praktik murabahah di Islamic Banking, maka ada semacam “kecaman” atau penilaian masyarakat terhadap praktik Islamic Banking: tidak jauh berbeda dengan bank konvensional (bank bunga). Hasil penelitian yang dilakukan oleh BI menunjukkan bahwa 15% responden menilai tidak ada bedanya dengan bank konvensional, “hanya beda bungkusnya.” Kalangan awam juga menilai bahwa dalam mengambil keuntungan, lebih besar dibandingkan dengan bank konvensional.
       Kondisi inilah yang harus dicarikan solusinya, karena selama ini kalangan awam menilai yang namanya lembaga syariah selalu identik dengan harga murah. Jika terjadi penjualan barang dengan harga lebih tinggi dibanding harga jual ban tidak syariah, maka dinilai lebih tidak Islami. Padahal, suatu ketika memang bisa terjadi demikian adanya. Oleh karena itu, perlu kiranya dicarikan kemasan produk murabahah yang memberikan keuntungan secara adil antara pihak bank dan nasabah peminjam murabahah. Bagaimana kemasan murabahah dapat adil?
       Islamic Banking harus tidak hanya menjadikan tingkat suku bunga sebagai rujukan dalam penentuan harga jual (pokok + margin) produk murabahah. Cara penetapan margin yang hanya mengacu pada suku bunga merupakan langkah sesat sekaligus menyesatkan, dan lebih berat lagi dapat merusak reputasi Islamic Banking. Dalam praktiknya, barangkali tingginya margin yang diambil oleh pihak Islamic Banking adalah untuk mengantisipasi naiknya suku bunga di pasar atau inflasi. Sehingga, kalua terjadi kenaikan suku bunga yang besar, maka Islamic Banking tidak mengalami kerugian secara riil. Namun demikian, apabila suku bunga di pasar tetap stabil, atau bahkan turun, maka margin murabahah akan lebih besar dibandingkan dengan tingkat bunga pada bank konvensional.
       Dengan penetapan margin keuntungan murabahah yang tinggi ini, secara tidak langsung bahkan dapat menyebabkan inflasi yang lebih besar daripada yang disebabkan oleh suku bunga. Oleh karena itu, perlu dicari format atau formula yang tepat, agar nilai penjualan dengan murabahah tidak mengacu pada sikap antisipasi kenaikan suku bunga selama masa pembayaran cicilan. Karena, mengaitkan margin keuntungan murabahah dengan bunga perbankan konvensional, baik di atasnya maupun di bawahnya, tetaplah bukan cara yang baik.
       Sebaiknya, penetapan harga jual murabahah dapat dilakukan dengan cara Rasulullah ketika berdagang. Dalam menentukan harga penjualan, Rasul secara transparan menjelaskan berapa harga belinya, berapa biaya yang telah dikeluarkan untuk setiap komoditas, dan berapa keuntungan wajar yang diinginkan. Cara yang dilakukan oleh Rasulullah ini dapat dipakai sebagai salah satu metode Islamic Banking dalam menentukan harga jual produk murabahah. Dengan demikian, secara matematis harga jual barang oleh bank kepada calon nasabah pembiayaan murabahah dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :
Harga Jual Bank    =
Harga Beli Bank + Cost Recovery + Keuntungan
Cost Recovery       =
Proyeksi Biaya Operasi

Target Volume Pembiayaan

                  Margin dalam persentase =
Cost Recovery + keuntungan
x 100%
Harga Beli Bank

       Biaya yang dikeluarkan dan harus dikembalikan (cost recovery) bisa didekati dengan membagi proyeksi biaya operasional bank, dengan target volume pembiayaan murabahah di Islamic Banking. Angka-angka tersebut dapat diperoleh dari Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP). Angka yang diperoleh kemudian ditambahkan dengan harga beli dari pemasok dan keuntungan yang diinginkan, sehingga didapatkan harga jual. Margin dalam konteks ini adalah cost recovery ditambah dengan keuntungan bank. Apabila margin ingin dihitung persentasenya, tinggal dibagi dengan harga beli barang dikalikan 100%.
       Setelah angka-angka tersebut didapat, barulah persentase margin ini dibandingkan dengan suku bunga. Jadi, suku bunga hanya dijadikan benchmark. Agar pembiayaan murabahah kompetitif, margin murabahah harus lebih kecil daripada bunga pinjaman. Jika masih lebih besar, maka yang harus dimainkan adalah dengan memperkecil cost recovery dan keuntungan yang diharapkan.
       Langkah pertama adalah menurunkan keuntungan. Jika keuntungan sudah turun sampai batas minimal, dan ternyata marginnya masih lebih besar daripada bunga bank, maka tentu ada yang tidak beres dengan cost recovery. Artinya, efisiensi bank tersebut rendah. Efisiensi yang rendah itu dapat ditingkatkan dengan mengurangi biaya operasional pada target volume pembiayaan pada biaya operasional pada target volume pembiayaan yang sama. Efisiensi juga dpat dicapai dengan memperbesar target volume pembiayaan pada biaya operasional yang sama. Hal ini dapat dicapai dengan meningkatkan kualitas SDM Islamic Banking. Semakin berkualitas SDM dalam meyakinkan nasabah untuk mendepositokan dananya ke Islamic Banking, semakin banyak pula dana yang dapat disalurkan untuk pembiayaan murabahah. Dengan demikian, semakin besar peluang untuk meningkatkan efisiensi.
     Lebih cantik lagi bila pengurangan biaya operasional dilakukan bersamaan dengan meningkatkan volume pembiayaan. Efisiensi tinggi akan segera diperoleh, cost recovery semakin kecil dan insya Allah keuntungan bank akan meningkat walaupun dengan margin murabahah yang lebih kecil daripada bunga pinjaman bank konvensional. Hal penting yang perlu diingat dan dicatat, hasil perhitungan margin yang dicantumkan dalam kontrak murabahah dinyatakan dalam angka nominal, bukan bentuk persentasenya.

Contoh Kasus :
Tuan Ali berkeinginan membeli sebuah mobil untuk kepentingan usaha antar jemput anak sekolah. Harga beli mobil sebesar Rp. 150.000.000,00 pada saat ini Tuan Ali hanya memiliki dana Rp. 30.000.000,00. Untuk mengatasi kekurangan dana tersebut, Tuan Ali menghubungi Islamic Banking TOAT untuk mendapatkan pemecahan masalah akibat kekurangan dana tersebut. Islamic banking menawarkan solusi dengan akad murabahah. Islamic Banking memperkirakan biaya operasional Rp. 200.000.000,00 dalam satu tahun, jumlah pembiayaan Rp. 5 miliar, mark-up yang ditentukan (hanya sekali) 10% dari pembiayaan murabahah, dan lama pembiayaan dua tahun. Bagaimana cara penyelesaiannya?

Jawab (penyelesaian dengan rumus harga jual efisien)
Data pembiayaan
Harga pokok mobil                    = Rp. 150.000.000,00
Dibayar nasabah (uang muka)   = Rp.   30.000.000,00
Kekurangan dibayar bank          = Rp. 120.000.000,00
(1)   Hitung cost recovery
Cost Recovery = (Pembiayaan Murabahah/Estimasi Total Pembiayaan) x Estimasi Biaya Operasi 1 tahun
Cost Recovery                 = (Rp. 120 juta/Rp. 5 miliar) x Rp 200 juta
                                        = Rp. 4.800.000,00
(2)   Hitung mark-up
Mark-up                          = 10% x pembiayaan
Mark-up                          = 10% x Rp. 120 juta
                                        = Rp. 12.000.000,00
(3)   Hitung harga jual bank
Harga Jual Bank              = Pembiayaan + cost recovery + Mark-up
                                        = Rp.120 juta + (2 x Rp.4.800.000,00) + 12 juta
                                        = Rp. 141.600.000,00
(4)   Hitung angsuran pembiayaan
Angsuran Pembiayaan    = Rp. 141.600.000,00/24 bulan
                                        = Rp. 5.900.000,00
(5)   Hitung total harga jual
Total Harga Jual              = Rp. 150.000.000,00 + Rp. 16.800.000,00
                                        = Rp. 166.800.000,00
(6)   Hitung margin dalam persentase
Margin dalam %              = Cost Recovery + Mark up/Harga beli
                                        = [(2 x 4.800.000,00 + Rp. 12.000.000,00)/
                                           Rp. 150.000.000,00] x 100%
                                        = 14,4% = 0,6%[7]































BAB III
PENUTUP

1.      Murabahah adalah akad jual beli atas suatu barang, dengan harga yang disepakati antara penjual dan pembeli, setelah sebelumnya penjual menyebutkan dengan sebenarnya harga perolehan atas barang tersebut dan besarnya keuntungan yang diperolehnya.
2.      Pada tahun1997 terjadi perubahan besar dalam pengembangan produk perbankan syariah, terutama dalam pembiayaan. Produk pembiayaan tidak lagi dikategorikan untuk tujuan investasi atau modal kerja, melainkan dibagi menurut jenisnya. Dari sekian produk yang dikembangkan perbankan syariah, sampai saat ini murabahah adalah produk yang mendominasi portofolio hampir seluruh pembiayaan. Murabahah dikenal dalam fiqh sebagai salah satu dari bay al-‘amanah yaitu jual beli yang terjadi berdasarkan kepercayaan kepada penjual yang menjelaskan tentang harga beli terhadap barang tersebut.
Akad murabahah sebagai salah satu metode pembiayaan bank syariah mendapat perhatian dari berbagai pihak antara lain : Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN), Undang-undang Perbankan dan Peraturan Bank Indonesia, Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Organization (AAOIFI) yang berpusat di Bahrain, Islamic Financial Service Board (IFSB), International Islamic Financial Market (IIFM). Terdapat beberapa praktik perbankan yang dapat diterima oleh syariah, baik karena  perbolehkan secara kesepakatan maupun secara ijtihad.
1.   Umum (Pembayaran dengan cicilan, Uang muka, Diskon untuk pembiayaan dipercepat, Perhitungan keuntungan, Denda bagi yang terlambat membayar atau menunggak.
2.   Tipe-tipe penarapan dalam perbankan syariah
Berikut beberapa kendala yang umum ditemukan dalam penerapan murabahah : Ketentuan perpajakan, Ketentuan hukum, Sikap nasabah, Sikap bank.
3.         Tujuan perbandingan ringkas di sini adalah untuk melihat apakah ada perbedaan yang signifikan antara pembiayaan dengan Murabahah dengan pembiayaan lewat bunga tetap untuk tujuan – tujuan yang sama. Perbadingan difokuskan pada aspek – aspek berikut : harga pembiayaan, risiko dalam pembiayaan murabahah, keamanan, hubungan antara bank dan pembeli, dan penyelesaian utang.
4.      Kendala yang dihadapi, meliputi :
1. Ketentuan perpajakan.
2.  Ketentuan hukum.
3.  Sikap nasabah.
4. Sikap bank.
5. Aplikasi Akuntansi Murabahah
Murabhahah merupakan salah satu produk penyaluran dana yang cukup digemari BMT karena karakternya yang profitable, mudah dalam penerapan, serta dengan risk-factor yang ringan untuk diperhitungkan. Mula-mula BMT membeli barang sebagaimana dimaksud kepada pihak ketiga dengan harga tertentu, secara langsung atau melalui wakil yang ditunjuk, untuk selanjutnya barang tersebut dijual kepada nasabah dengan harga tertentu setelah ditambah keuntungan (mark-up) yang disepakati bersama. Besarnya keuntungan yang diambil BMT atas transaksi murabahah tersebut bersifat ‘constant’, dalam pengertian tidak berkembang dan tidak pula berkurang, serta tidak terkait apalagi terikat oleh fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dolar. Keadaan ini berlangsung hingga akhir pelunasan hutang oleh nasabah kepada BMT. Penerapan - Penerapan Metode Pembiayaan “
1.   Penerapan Mark-up Pricing pembiayaan
2.   Penerapan Target Return Pricing Pembiayaan
3.      Penetapan Harga Jual Murabahah yang Efisien








DAFTAR PUSTAKA
H. Cecep Hakim Maskanul. 2011. Belajar Mudah Ekonomi Islam. Pamulang Tanggerang Selatan Banten : Shuhuf Media Insani
H. Rivai Veithzal. 2008. Islamic Financial Management : teori, konsep dan aplikasi : panduan praktis untuk lembaga keuangan, nasabah, praktisi, dan mahasiswa. Jakarta : Raja Grafindo Persada
Ilmi Makhalul. 2002. Teori dan praktek mikro keuangan syari’ah: beberapa permasalahan dan alternatif solusi. Yogjakarta: UII Press Yogjakarta
A. Perwataatmadja H. Karnaen. 1992. Apa dan Bagaimana Bank Islam. Yogyakarta : PT. DANA BHAKTI PRIMA YASA.






[1] H. Veithzal Rivai. Islamic Financial Management : teori, konsep dan aplikasi : panduan praktis untuk lembaga keuangan, nasabah, praktisi, dan mahasiswa, (jakarta : Raja Grafindo Persada, 2008), hlm : 145 - 146
[2] H. Cecep Maskanul Hakim, Belajar Mudah Ekonomi Islam, (Pamulang Tanggerang Selatan Banten : Shuhuf Media Insani, 2011), hlm. 71-75


[3]H. Veithzal Rivai. Islamic Financial Management : teori, konsep dan aplikasi : panduan praktis untuk lembaga keuangan, nasabah, praktisi, dan mahasiswa, (jakarta : Raja Grafindo Persada, 2008), hlm : 149- 160
[4] H. Cecep Maskanul Hakim, Belajar Mudah Ekonomi Islam, (Pamulang Tanggerang Selatan Banten : Shuhuf Media Insani, 2011), hlm. 78-80.
[5] Makhalul Ilmi,teori dan praktek mikro keuangan syari’ah: beberapa permasalahan dan alternatif solusi (Yogjakarta: UII Press Yogjakarta, 1992), hlm.38-41.
[6] H. Karnaen A. Perwataatmadja, Apa dan Bagaimana Bank Islam, (Yogyakarta : PT. DANA BHAKTI PRIMA YASA, 1992), hlm : 25 - 26

[7] H. Veithzal Rivai. Islamic Financial Management : teori, konsep dan aplikasi : panduan praktis untuk lembaga keuangan, nasabah, praktisi, dan mahasiswa, (jakarta : Raja Grafindo Persada, 2008), hlm : 166 - 173

Tidak ada komentar:

Posting Komentar