MAKALAH
AKUNTANSI MURABAHAH
Makalah
ini ditujukan untuk memenuhi salah satu
tugas mata kuliah
Akuntansi Syariah
Dosen Pengampu:
Erlyna Tri Rohmiatun,.SE.,Ak.,MM
Disusun
oleh Kelompok 7 :
Kelas IIIC
Dian Pitaloka (17401153064)
Nisya’ul Choiriyah (17401153106)
Yulia Nadzirah (17401153095)
Devy Sartyka Ayuningtyas (17401153356)
Nur Fitriyani (17401153356)
JURUSAN PERBANKAN SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI TULUNGAGUNG
OKTOBER 2016
KATA
PENGANTAR
Bismillahirrohmanirrohim
Syukur Alhamdulillah senantiasa penulis haturkan ke hadirat Allah SWT. Yang
telah melimpahkan rahmat, taufiq, serta hidayahnya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “Etika dan Perilaku Bisnis Syariah”
Sholawat serta salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada junjungan kita
Nabi agung Muhammad SAW yang telah memberi suri tauladan kepada kita lewat
ajaran Islam.
Penulis menyadari, bahwa dalam penulisan makalah ini terdapat banyak
kekurangan dan kelemahannya. Namun karena adanya dukungan dari berbagai pihak
maka hambatan tersebut dapat kami atasi.
Oleh karena itu penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada:
1.
Dr.
Maftukhin, M. Ag. Selaku ketua
IAIN Tulungagung yang telah
memberikan kesempatan kepada kami untuk menimba ilmu di IAIN Tulungagung.
2.
Erlyna
Tri Rohmiatun,.SE.,Ak.,MM selaku dosen pengampu mata kuliah Pengantar Bisnis Syariah yang telah membimbing dan mengarahkan kami untuk mendapat
pemahamaman yang benar mengenai mata kuliah ini.
3.
Semua
pihak yang telah membantu terselesainya penyusunan makalah ini.
Penulis merasa bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu penulis mengharap kritik yang sifatnya membangun
demi kesempurnaan makalah ini.
Akhirnya semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak dan semoga
kita selalu mendapatkan petunjk dari Allah SWT. Amin.
Tulungagung, 18
Oktober 2016
Penulis
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Akuntansi syariah dapat diartikan
sebagai proses akuntansi atas transaksi – transaksi yang sesuai dengan aturan
yang telah ditetapkan Allah SWT. Oleh karena itu, akuntansi syariah diperlukan
untuk mendukung kegiatan yang harus dilakukan sesuai syariah, karena tidak
mungkin dapat menerapkan akuntansi yang sesuai dengan syariah jika transaksi
yang akan dicatat oleh proses akuntansi tersebut tidak sesuai dengan syariah.
Suatu perekonomian negara yang dikatakan
sehat dan stabil jika dilihat dari tiga unsur sistem keuangan negara yaitu
sistem moneter, sistem perbankan dan sistem keuangan lembaga bukan bank. Salah
satu yang mendorong untuk penumbuhan ekonomi suatu negara, maka ketiga sistem
tersebut harus berjalan dengan baik. Oleh karena itu peranan perbankan menjadi
sangat penting. Berdasarkan pengaruh dari krisis keuangan global yang terjadi bank syariah mampu bertahan dibanding
bank konvensional yang mengalami dampak krisis global tersebut, sehingga pada
saat itu banyak ilmuan yang melirik untuk menggunakan sistem ekonomi syariah
yang dipakai dibank syariah. Salah satu pembiayaan yang ada di bank syariah
adalah pembiayaan murabahah, yaitu prinsip jual beli barang pada harga asal
dengan tambahan keuntungan yang telah disepakati bersama. Untuk memudahkan
pihak – pihak yang berkecimpung dalam perlakuan ekonomi dibutuhkan suatu sistem
keuangan yang dapat memudahkan pihak – pihak yang akan memakainya.
Dalam makalah ini akan dibahas mengenai
instrumen keuangan syariah yang lebih spesifik. Akad dalam jual beli cukup
banyak, dan kali ini akan dibahas mengenai akuntansi akad murabahah.
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
pengertian dan hukum Akuntansi Murabahah ?
2. Bagaimana
problematika Akuntansi Murabahah dalam Bank Syariah ?
3. Bagaimana
perbandingan antara Pembiayaan berbasis Akuntansi Murabahah dan Bunga Tetap ?
4. Apa
saja kendala yang dihadapi dalam penerapan Akuntansi Murabahah ?
5. Bagaimana
contoh aplikasi Akuntansi Murabahah ?
C.
Tujuan
Pembahasan
1. Memahami
dan mengetahui pengertian dan hukum Akuntansi Murabahah
2. Memahami
dan mengetahui problematika Akuntansi Murabahah dalam Bank Syariah
3. Memahami
dan mengetahui perbandingan antara pembiayaan berbasis Akuntansi Murabahah dan
Bunga Tetap
4. Memahami
dan mengetahui kendala yang dihadapi dalam penerapan Akuntansi Murabahah
5. Memahami
dan mengetahui contoh aplikasi Akuntansi Murabahah
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
dan Hukum Akuntansi Murabahah
[1]Murabahah adalah akad jual beli atas suatu
barang, dengan harga yang disepakati antara penjual dan pembeli, setelah
sebelumnya penjual menyebutkan dengan sebenarnya harga perolehan atas barang
tersebut dan besarnya keuntungan yang diperolehnya. Landasan Hukum Murabahah yaitu
:
a.
Al – Quran Surah Al – Baqarah [2] : 275
“Orang – orang yang
makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang
yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang
demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual
beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba. Orang – orang yang telah sampai kepadanya larangan dari
Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang
telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah)
kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah
penghuni – penghuni neraka; mereka kekal didalamnya.
b.
Al
– Quran Surah Al – Nisa’ [4] : 29
“Hai orang – orang yang
beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil,
kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara
kamu, dan janganlah kamu membunuh dirimu (larangan membunuh diri sendiri mencakup
juga larangan membunuh orang lain, sebab membunuh orang lain berarti membunuh
diri sendiri, karena umat merupakan suatu kesatuan); sesungguhnya Allah adalah
Maha Penyayang Kepadamu”.
c.
Hadis
Riwayat Tirmidzi
“Pedagang yang jujur
dan terpercaya, maka dia bersama Nabi, orang – orang yang jujur dan para
syuhada”.
Untuk menjadi transaksi yang sah, murabahah memiliki rukun dan
syarat yang harus dipenuhi yaitu :
a. Rukun Murabahah
a) Ba’iu (penjual)
b) Musytari (pembeli)
c)
Mabi’
(barang yang diperjualbelikan)
d) Tsaman (harga
barang)
e) Ijab qabul (pernyataan
serah terima)
b. Syarat Murabahah
a)
Syarat yang berakad (ba’iu dan musytari) cakap hukum dan tidak dalam keadaan terpaksa.
b)
barang yang
diperjualbelikan (mabi’) tidak
termasuk barang yang haram dan jenis maupun jumlahnya jelas.
c)
Harga barang (tsaman) harus dinyatakan secara
transparan (harga pokok dan komponen keuntungan) dan cara pembayarannya
disebutkan dengan jelas.
d)
pernyataan serah terima
(ijab qabul) harus jelas dengan
menyebutkan secara spesifik pihak – pihak yang berakad.
B.
Problematika
Akuntansi Murabahah dalam Bank Syariah
[2]Perkembangan perbankan syariah yang begitu cepat telah memacu
perkembangan produk layanan dan jasa agar dapat melayani keperluan masyarakat.
Sebelum tahun 1997 produk perbankan syariah terbatas kepada giro, tabungan, dan
deposito pada sisi penghimpunan dana, sedangkan pada sisi pembiayaan hanya dua
produk yang digunakan yaitu bay bithaman (digunakan untuk pembiayaan
investasi) dan ‘ajil murabahah (untuk pembiayaan modal kerja).
Pada tahun 1997
terjadi perubahan besar dalam pengembangan produk perbankan syariah, terutama
dalam pembiayaan. Produk pembiayaan tidak lagi dikategorikan untuk tujuan
investasi atau modal kerja, melainkan dibagi menurut jenisnya. Produk
pembiayaan dibagi menjadi 3 jenis besar yaitu :
1.
Jual
beli (murabahah, salam, dan istishna)
2.
Sewa
(ijarah, dan ijarah muntahia bittamlik)
3.
Bagi
hasil (mudharabah dan musyarakah)
Dari sekian
produk yang dikembangkan perbankan syariah, sampai saat ini murabahah adalah
produk yang mendominasi portofolio hampir seluruh pembiayaan. Terdapat berbagai
alasan mengapa murabahah sering digunakan daripada produk lainnya yaitu :
1.
Adanya
kemiripan dengan kredit yang biasa dilakukan dalam perbankan.
2.
Nasabah
mudah mengetahui kewajiban yang harus ia bayarkan tiap bulan/minggu, bahkan
dapat mengetahui berapa diskon yang akan didapatkan apabila pelunasannya
dipercepat.
a.
Murabahah
dalam Konsep Fiqih
Murabahah adalah jual-beli pada harga awal (pokok) dengan tambahan
keuntungan. Maksudnya penjual memberitahukan kepada si pembeli berapa harganya
dan berapa keuntungan yang diperoleh si penjual secara terperinci. Murabahah
dikenal dalam fiqh sebagai salah satu dari bay al-‘amanah yaitu jual
beli yang terjadi berdasarkan kepercayaan kepada penjual yang menjelaskan
tentang harga beli terhadap barang tersebut.
b.
Murabahah
dalam Konsep Pengaturan
Akad murabahah sebagai salah satu metode pembiayaan bank syariah
mendapat perhatian dari berbagai pihak antara lain :
1.
Fatwa
Dewan Syariah Nasional (DSN). DSN telah menerapkan minimal tiga fatwa mengenai
murabahah yaitu pembiayaan murabahah, uang muka
dalam murabahah, dan diskon dalam murabahah.
2.
Undang-undang
Perbankan dan Peraturan Bank Indonesia. UU No. 7 tahun 1992 sebagaimana telah
disempurnakan oleh UU N0. 10 tahun 1998 tentang perbankan, memuat tentang
murabahah sebagai salah satu prinsip pembiayaan bagi bank syariah.
3.
Accounting
and Auditing Organization for Islamic Financial Organization (AAOIFI) yang
berpusat di Bahrain, mengkategorikan murabahah hanya sebagai instrumen
pembiayaan lengkap dengan perlakuan akuntansi dan aturan hukum syariahnya.
4.
Islamic
Financial Service Board (IFSB) yang merupakan asosiasi bank sentral yang
menyusun pengaturan dan pengawasan untuk perbankan syariah memasukkan murabahah
dalam kategori jual beli. IFSB merinci dalam standar kontrak yang
dikeluarkannya bahwa murabahah hanya berlaku untuk pembiayaan jual-beli barang
yang kasat mata, bukan dalam bentuk surat berharga.
5.
International
Islamic Financial Market (IIFM) menggunakan murabahah sebagai instrumen
likuiditas, ketika bank-bank syariah yang kelebihan likuiditas dapat
ditempatkan pada IIFM yang kemudia mengelolanya dalam pasar komoditi.
C.
Perbandingan
antara Pembiayaan Berbasis Akuntansi Murabahah dan Bunga Tetap
Tujuan perbandingan ringkas di sini
adalah untuk melihat apakah ada perbedaan yang signifikan antara pembiayaan
dengan Murabahah dengan pembiayaan lewat bunga tetap untuk tujuan – tujuan yang
sama. Perbadingan difokuskan pada aspek – aspek berikut : harga pembiayaan,
risiko dalam pembiayaan murabahah, keamanan, hubungan antara bank dan pembeli,
dan penyelesaian utang.
1.
Biaya untuk pembiayaan
Dinyatakan bahwa ketika bank konvensional meminjamkan uang.
Misalnya, untuk pembelian barang – barang tertentu, bunga yang dikenakan pada
pinjaman dikaitkan dengan pokok pinjaman dan jatuh tempo pinjaman. Mereka
menegaskan pula bahwa jika pinjaman adalah untuk tujuan semacam itu, maka bukan
urusan bank konvensional mengenai berapa harga barang – barang itu bagi si
nasabah. Hal utama yang menjadi perhatian bank konvensional adalah memperoleh
suku bunga yang sedang berlaku bagi pengeluaran – pengeluaran yang semisal
dalam hal risiko dan jatuh temponya. Tanggungjawab nasabahlah, setelah
memperoleh pinjaman dengan suku bunga tertentu, untuk membeli barang – barang
yang diperlukannya, berapa pun harganya. Dikatakan metode murabahah memastikan
bahwa si nasabah mengetahui total harga barang sebelumnya. Hal ini, katanya,
tidak akan diketahui dalam pembiayaan berdasarkan bunga, karena bunga dikenakan
atas pinjaman – pinjaman yang disalurkan oleh bank tanpa memerhatikan apakah
pinjaman tersebut mencukupi untuk membayar apa yang akan dibeli atau tidak.
Kedua, suku bunga bisa berupa suku bunga tetap atau suku bunga tak tetap. Dalam
hal suku bunga tak tetap, tentu lebih sulit lagi bagi si nasabah untuk sampai
kepada harga total.
2.
Murabahah : Bebas Risiko atau Berbagi Risiko ?
Pembiayaan
berdasarkan pembagian risiko yang diidentikkan dengan model teoretis perbankan
Islam tidak tampak menjadi karakter utama praktik murabahah Islamic banking. Disamping itu, beberapa
pendukung Islamic Banking mengatakan
bahwa, bahkan dalam murabahah, faktor pembagian risiko tetap ada, yang itu
menjadi alasan diambilnya laba. Berikut ini adalah pembahasan singkat tentang
risiko – risiko yang terkait dengan : (i) barang, (ii) nasabah, dan (iii)
pembayaran.
a.
Risiko yang Terkait dengan Barang
Islamic Banking membeli
barang – barang yang diminta oleh nasabah murabahah nya, dan secara teoritis
menanggung resiko kehilangan atau kerusakan pada barang – barang tersebut dari
saat pembelian sampai diserahkan kepada nasabah. Bank, dengan kontrak
murabahah, diwajibkan untuk menyerahkan barang kepada nasabah dalam kondisi
yang baik. Islamic Banking, bagaimanapun
juga, dalam praktiknya menghindari risiko – risiko tersebut dengan asuransi dan
klausal kontrak. Klausal kontrak disusun sedemikian rupa sehingga membantu Islamic Banking untuk menghindari segala
risiko yang terkait dengan barang. Misalnya, terkait dengan spesifikasi barang.
Risiko dihindari dengan menempatkan tanggungjawab untuk menyatakan spesifikasi
yang benar kepada nasabah dalam permohonan pembelian murabahah, bukan nama
penyalurnya.
Harus
dicatat bahwa kontrak murabahah umunya ditandatangani sebelum Islamic banking mendapatkan barang yang
dipesan oleh nasabah (yaitu, sebelum kedatangan barang itu dipelabuhan atau
digudang bank). Menurut kontrak, nasabahlah yang harus berhati – hati dan
mematuhi hukum dan aturan yang terkait dengan pengimporan barang, rasio – laba,
dan spesifikasi yang benar. Nasabahlah sendirilah yang menanggung semua
tanggungjawab atas denda atau sanksi hukum yang diakibatkan dari pelanggaran
hukum tersebut. singkatnya, bank tidak berkeinginan memikul tanggungjawab yang
terkait dengan barang. Oleh sebab itu, segala risiko yang terkait dengannya,
yang secara teoretis harus ditanggung bank, secara efektif telah terhindarkan.
b.
Risiko yang Terkait dengan Nasabah
Janji
nasabah murabahah untuk membeli barang yang dipesan dalam suatu transaksi
murabahah, menurut mayoritas fuqaha mazhab,
tidaklah mengikat. Oleh sebab itu, nasabah berhak menolak untuk membeli barang
ketika Islamic banking menawari
mereka untuk penjualan. Dalam mempertahankan murabahah, Islamic Banking cenderung melakukan pembenaran terhadap laba yang
diperoleh dari pelaksanaan murabahah mereka, terutama berdasarkan risiko bisnis
yang ada dalam pelaksanannya. Risiko bank terhadap kemungkinan penolakan
nasabah untuk membeli barang dapat dihindari dengan pembayaran uang muka
(sepertiga dari total harga, misalnya), dengan jaminan, jaminan pihak ketiga,
dan dengan klausal kontrak. Pembayaran uang muka akan bisa cukup untuk menutupi
semua kerugian yang mungkin timbul dari pembuangan barang oleh bank, sebagai
akibat penolakan semacam itu. Jika belum puas dengan kecukupan uang muka, bank
bisa mempersyaratkan jaminan dan jaminan pihak ketiga untuk menutupi seluruh
biaya murabahah atau sebagainya. Hal ini untuk menjamin pemenuhan klausal
kontrak oleh nasabah, dan juga untuk menutupi harga barang dan laba yang
disepakati dalam kontrak.
c.
Risiko-Risiko
yang Terkait Dengan Pembayaran
Resiko
tidak terbayar penuh atau sebagian dari uang muka, seperti yang dijadwalkan
dalam kontrak, ada dalam pembiayaan murabahah.
Islamic Banking menghindari risiko ini dengan adanya janji tertulis,
jaminan, jaminan pihak ketiga, dan klausul kontrak yang menyatakan bahwa semua
hasil dari barang-barang murabahah
yang dijual kepada pihak ketiga dengan tunai maupun cicilan harus disimpan di
bank sampai apa yang menjadi hak bank di bayar kembali sepenuhnya. Jika tidak
adanya pembayaran itu disebabkan oleh faktor-faktor di luar kemampuan nasabah
untuk mengontrolnya,
islamic Banking secara moral berkewajiban menjadwal ulang
utang. Di pihak lain, jika nasabah memiliki kemampuan untuk membayar tepat
waktu, tetapi ia tidak melakukannya, maka Islamic
Banking beserta Dewan Syariah telah mengadopsi konsep ‘denda’ akan
tergantung kepada ‘suku laba yang wajar’ pada dana bank yang diinvestasikan, yang
merupakan opportunity cost (biaya
untuk menutupi peluang yang hilang) dari modal (Mohammed, 1997: 16-17). Pada
sebagian kasus, jika pelunasan dari uang muka tidak mungkin, Islamic Banking akan menyita jaminan untuk menutupi uang muka.
Seperti dipaparkan di atas, dalam praktik, Islamic Banking secara efektif menghilangkan semua resiko
dalam pelaksanaan murabahah. Murabahah, yang merupakan metode paling
dominan dalam menginvestasikan dana dalam perbankan Islam, adalah untuk
tujuan-tujuan praktis, benar-benar model investasi yang bebas risiko,
memberikan keuntungan yang ditetapkan di muka kepada bank atas modalnya.
Seperti yang diakui oleh laporan Council of Islamic Ideology, dalam murabahah terdapat “kemungkinan untuk mendapatkan laba bagi bank tanpa reisiko kemungkinan
rugi yang harus dibagi, kecuali dalam hal kebangkrutan atau kegagalan di pihak
pembeli”.[3]
D.
Kendala
yang Dihadapi dalam Penerapan Akuntansi Murabahah
Berikut beberapa kendala yang umum ditemukan dalam penerapan
murabahah :
1.
Ketentuan
perpajakan. Murabahah adalah produk yang termasuk jenis jual-beli, maka
ketentuan perpajakan memasukkannya sebagai produk yang terkena pajak, baik itu
untuk kepentingan bank sendiri maupun untuk kepentingan nasabah.
2.
Ketentuan
hukum. Murabahah yang diterapkan secara konsisten dalam perbankan syariah juga
akan menghadapi masalah hukum. Seperti yang sudah dijelaskan bahwa nasabah akan
mendapat celah untuk membantah bahwa ia berhutang kepada bank, karena yang
diterimanya adalah barang bukan uang. Padahal kondisi hukum di Indonesia masih
menganggap bahwa bank adalah lembaga pinjaman (uang) dan pinjaman itu akan
efektif menjadi hutang apabila yang diberikan itu dalam bentuk uang.
3.
Sikap
nasabah. Misalnya terdapat kasus, nasabah tidak ingin bank mengetahui tempat ia
biasa membeli atau berbelanja. Dalam kasus ini syarat bahwa harga pokok atau
awal harus diketahui oleh kedua belah pihak, namun dengan hal diatas maka
syarat tersebut tidak terpenuhi.
4.
Sikap
bank. Terkadang penyimpangan murabahah juga terjadi karena sikap para bankir
yang cenderung mencari amna dan menghindari resiko, sehingga transaksi murabahah
yang dilakukan terkesan dipaksakan untuk sesuatu yang memang tidak sesuai
dengan murabahah itu sendiri.[4]
E.
Contoh Aplikasi Akuntansi Murabahah
a.
Penyaluran
Dana Murabhahah
Murabhahah
merupakan salah satu produk penyaluran dana yang cukup digemari BMT karena
karakternya yang profitable, mudah
dalam penerapan, serta dengan risk-factor
yang ringan untuk diperhitungkan. Dalam penerapan, BMT bertindak sebagai
pembeli sekaligus penjual barang halal tertentu yang dibutuhkan nasabah.
Mula-mula BMT membeli barang sebagaimana dimaksud kepada pihak ketiga dengan
harga tertentu, secara langsung atau melalui wakil yang ditunjuk, untuk
selanjutnya barang tersebut dijual kepada nasabah dengan harga tertentu setelah
ditambah keuntungan (mark-up) yang
disepakati bersama. Besarnya keuntungan yang diambil BMT atas transaksi
murabahah tersebut bersifat ‘constant’, dalam pengertian tidak berkembang dan
tidak pula berkurang, serta tidak terkait apalagi terikat oleh fluktuasi nilai
tukar rupiah terhadap dolar. Keadaan ini berlangsung hingga akhir pelunasan
hutang oleh nasabah kepada BMT.
Bila penambahan nilai hutang (berikut mark-upnya) dalam perjanjian murabahah
tidak mungkin terjadi, pengurangan bisa saja dilakukan bila itu semata-mata
karena kebijakan internal BMT sendiri, seperti misalnya ketika nasabah mampu
membayar lunas hutangnya lebih cepat dari waktu yang telah dijadwalkan.
Pengurangan beban pembayaran hutang nasabah kepada BMT dalam kasus tersebut
tidak dapat diidentikkan dengan kebijakan haircut
oleh bank dalam penyelesaian kredit “bermasalah”, serta tidak dapat pula
dikatakan sebagai fenomena “berubahnya harga” atau bahwa harga barang yang
dijual BMT kepada nasabah berubah lebih murah dari harga semula pada waktu aqad
murabahah ditandatangani, karena perubahan seperti ini memang tidak dibenarkan
dalam ajaran syariah, tetapi lebih merupakan bagian dari kompensasi (rukhshah) yang diberikan BMT kepada
nasabah berprestasi. Kebijakan seperti ini lazim diwujudkan dalam bentuk
pemberian hibbah atau bonus.
Adapun mengenai pembayaran harga oleh nasabah
dapat dilakukan secara penuh setelah jatuh tempo, dapat pula diangsur setiap
periode tertentu, misalnya sepekan atau sebulan sekali, selama jangka waktu
yang disepakati. Murabahah yang pembayarannya oleh nasabah dilakukan secara
berangsur lazim dikenal dengan istilah bai’
bitsaman ‘ajil (BBA) atau murabahah
mu’ajjal.[5]
Dalam praktiknya, BBA berhasil menempati hampir
80% peta penyaluran dana BMT. Namun dari keseluruhan produk BBA yang disalurkan
tersebut, dalam praktek tidak semuanya benar sesuai prinsip-prinsip syariah.
Ada beberapa diantaranya yang dalan penerapan tidak memenuhi ketentuan yang
mutlak adanya menurut syariah, seperti obyek barang yang berstatus ‘tidak
jelas’ atau bahkan ‘tidak ada’ sama sekali. Fakta di lapangan sering
menunjukkan hal demikian. Bahkan muncul kecenderungan di sementara BMT yang
sengaja menerapkan aqad BMT semata-mata untuk mensiasati perolehan keuntungan
atas pembiayaan yang disalurkannya kepada nasabah, kendati sebenarnya menurut
syariah , terhadap pembiayaan tersebut tidak dapat diterapkan aqad BBA. Keadaan
seperti ini tentu bila dibiarkan dapat merusak citra BMT sebagai lembaga
keuangan yang mengklaim diri untuk tunduk dan patuh mengikuti aturan syariah.
Bahkan dalam skala lebih luas pengaruhnya dapat menjangkau sampai ke level
perbankan syariah. Ini mesti diwaspadai.
Pengelola yang cerdas memahami persoalan dan
mendalami masalah syariah berikut metodologi pengambilan hukum-hukumnya, tentu
memiliki kreatifitas sendiri dalam mencari celah yang memungkinkannya dapat
mengakses produk BBA melalui cara-cara yang dibenarkan. Bila ini yang
dilakukan, penerapan produk BBA dalam suatu transaksi murabahah antara BMT
dengan nasabah dapat dibenarkan adanya sebagaimana contoh berikut ini:
Ahmad, 39 tahun, pengusaha muslim yang menekuni
bisnis konveksi pakaian jadi, mengajukan permohonan pembiayaan kepada BMT
Syirkah Mu’awanah sebesar Rp. 10.000.000 untuk memperbesar modal dengan harapan
volume produksinya meningkat 50% sesuai permintaan pasar. Jangka waktu
pengembalian 10 bulan, dan sebagai jaminan Ahmad menyerahkan satu unit
kendaraannya yang ditaksir bernilai jual sekitar Rp. 20.000.000.
Sebenarnya,
berdasarkan keterangan lisan yang disampaikan Ahmad, model aqad yang tepat
untuk diterpakan sesuai konteks kebutuhan adalah musyarakah, karena didalamya terkandung pengertian BMT menyertakan
sebagian dana yang dibutuhkan Ahmad untuk pengembangan usaha miliknya, atau
bisa juga mudharabah, bila proporsi
bagi hasil dihitung sebatas plafon pembiayaan yang diberikan BMT, karena
mudharabah menentukan keharusan shabib
al-mal menanggung semua biaya usaha yang dibutuhkan mudharib. Jika model yang dipilih, Ahmad wajib memisah laporan
keuangan sebagian usaha miliknya yang khusus dibiayai BMT agar perhitungan bagi
hasilnya jelas dan nudah dilakukan.
Namun mengingat kedua model aqad tersebut
resikonya cukup tinggi, diman bila terjadi kerugian pada usaha Ahmad BMT
menanggung beban kerugian tersebut secara financial, BMT dapat mengusahakan
agar aqad yang diterapkan menggunakan BBA dengan cara maminta pihak Ahmad
bersedia menjual kendaraannya seharga Rp. 20.000.000 kepada BMT, untuk
selanjutnya kendaraan tersebut dijual kembali kepada Ahmad dengan harga Rp.
23.000.000. Oleh karena dana yang dibutuhkan Ahmad hanya Rp. 10.000.000, BMT
menganggap Ahmad telah membayar uang muka sebesar Rp. 10.000.000 pada saat
dilakukannya penandatanganan aqad, sedang sisanya sebesar Rp. 13.000.000
dibayar berangsur dalam jangka waktu 10 bulan. Demikianlah maka, proses
pemilihan (pemindahan) aqad BBA dari yang semestinya, sesuai konteks kebutuhan
yang diajukan Ahmad, lebih cepat diterapkan kepadanya aqad musyarakah atau
mudharabah, berjalan melalui celah dan cara-cara yang dapat dibenarkan syariah
karena syarat dan rukunnya terpenuhi.
Lain halnya bila pemilihan aqad itu semata-mata
didasari karena phobi terhadap aqad-aqad tertentu di luar BBA/murabahah, maka
yang demikian tidak dibenarkan menurut syariah, sebagaimana di bawah ini :
1. Karang
Taruna desa Pakembaran, kabupaten Tegal Propinsi Jawa Tengah berencana
menyelenggarakan pengajian akbar untuk memperingati Hari Ulang Tahun
Kemerdekaan RI ke-54. Rencana anggaran biaya ditetapkan sebesar Rp. 3.000.000,
yang sumbernya dihimpun dari masyarakat dan sponsorship. Oleh karena dana yang
yang terkumpul baru Rp. 1.000.000, sementara tanggal pelaksanaan semakin dekat,
karang taruna kemudian mengajukan permohonan pembiayaan kepada BMT sebesar Rp.
2.000.000 sebagai dana talangan, yang menurut rencana akan digunakan sebagai
biaya akomodasi pembicara, sewa panggung, dan pengadaan sarana prasarana
kegiatan yang dibutuhkan. Jangka waktu pengembalian direncanakan 2 minggu atau
setengah bulan. Adapun sebagai jaminan pelunasan hutang, karang taruna
memperoleh back-up daroi kepala desa setempat.
Setelah dipertimbangkan dengan baik bersama pengurus,
manajemen BMT memutuskan untukmengabulkan permohonan itu. Namun dengan alasan
untuk menjamin perolehan keuntungan, diterapkan terhadapnya aqad murabahah,
dimana BMT (seakan-akan) membeli ‘sejumlah barang’ yang dibutuhkan karang
taruna untuk keperluan penyelenggaraan pengajian akbar seharga Rp. 2.000.000,
untuk selanjutnya barang tersebut dijual kepada karang taruna seharga Rp.
2.120.000. ‘Sejumlah barang’ sebagaimana dimaksud BMT tidak semuanya ada dalam
kenyataan. Kalaupun ada, jumlahnya sangat kecil, yakni untuk alokasi pembelian
kertas-kertas, lem, bambu, kayu dan semacamnya.
Apa yang
dilakukan manajemen BMT dengan menerapkan aqad murabahah sehubungan dengan
karang taruna diatas, dari sisi syariah tidak dapat dibenarkan, karena sejumlah
barang yang dimaksud BMT sebagian besar bersifat fiktif, kendati ada unsur
kerelaan dari pihak karang taruna untuk menerapkan aqad murabahah. Karang
taruna sendiri dalam kasus ini tidak mengerti apa sebenarnya yang dimaksud dengan
murabahah itu. Dengan tidak terpenuhinya unsur-unsur aqad murabahah, pada
contoh diatas tida sah atau invalid. Dalam prespektif syariah.
2. MS, 52
tahun, pengrajin besi dari desa Tegal Propinsi Jawa Tengah, mendapat kucuran
dana dari BMT sebesar Rp. 25.000.000 dengan aqad Al-Qardl dalam jangka waktu
yang tidak ditentukan dan tanpa pernyataan jaminan, dengan suatu syarat, BMT
diberi hak untuk menjual kursi besi lipat yang diproduksi perusahaan MS kepada
mitra bisnisnya di kota Semarang. Namun diluar dugaan, pembiayaan tersebut
mengalami kemacetan akibat orang kepercayaan MS berkhianat dengan memanfaatkan
sejumlah dana yang dipercayakan BMT kepadanya untuk bisnis pribadi. Akibatnya,
MS hanya mampu membayar angsuran pembuiayaan sebesar Rp. 5.000.000 yang dibayarkannya
paa bulan ketiga. Manajemen BMT memutuskan untuk mengeluarkan kebijakan
restrukturisasi pembiayaan dengan mengubah aqad qardl menjadi aqad BBA dengan
ketentuan sebagai berikut :
1. MS atas
nama BMT seakan-akan membeli besi dalam kadar yang idak ditentukan seharga Rp.
27.500.000 terdiri atas sisa pokok yang masih harus dibayarkan sebesar Rp.
20.000.000 ditambah keuntungan sebesar Rp. 7.500.000 yang diminta BMT dengan
jangka waktu pelunasan 1 tahun.
2. Kedua,
apabila selambat-lambatnya 1 bulan sejak tanggal jatuh tempo MS tidak dapat
melunasi kewajibannya, BMT akan mengambil secara paksa asset milikinya yang
mudah terjual untuk menjadi jaminan atas pelunsan utang miliknya.
Tindakan
yang dilakukan manajemen BMT, sebagaimana contoh kejadian yang pertama, juga tidak
dapat dibenarkan dari sisi syariah, karena objek jual belinya bersifat fiktif.
d.
Penerapan
- Penerapan Metode Pembiayaan
a.
Penerapan
Mark-up Pricing pembiayaan
Jika Islamic
Banking hendak menerapkan metode mark-up
pricing, metode ini hanya tepat jika digunakan untuk pembiayaan yang sumber
dananya dari restricted investment
account (RIA) atau mudharabah
muqayyadah. Mengapa demikian? Sebab, akad mudharabah muqayyadah adalah akad yang pemilik dana menuntut adanya
kepastian hasil dari modal yang diinvestasikan. Oleh karena itu, pola yang
diterapkan dengan memperhatikan :[6]
· Historical average cost
jika dana mudharabah muqayyadah
dilakukan dengan on balance sheet.
· Marginal cost of fund
jika dana mudharabah muqayyadah
dilakukan dengan off balance sheet.
· Pooled marginal cost of
fund jika dana mudharabah muqayyadah dilakukan dengan on balance sheet.
· Weighted average
projected cost jika dana mudharabah muqayyadah dilakukan dengan on balance sheet.
b. Penerapan Target Return Pricing Pembiayaan
Islamic Banking
beroperasi dengan tidak menggunakan bunga. Mekanisme operasional dalam
memperoleh pendapatan dapat dihasilkan berdasarkan klasifikasi akad. Akad yang
menghasilkan keuntungan secara pasti disebut natural certainty contract, dan akad yang menghasilkan keuntungan
yang tidak pasti disebut natural
uncertainty contract.
Jika
pembiayaan dilakukan dengan akad natural
certainty contract, maka metode yang digunakan adalah required profit rate (rpr).
rpr = n . v
Di mana n = tingkat keuntungan dalam transaksi tunai; v = jumlah transaksi
dalam satu periode.
Jika pembiayaan dilakukan dengan akad natural uncertainty contract, maka
metode yang digunakan adalah expected
profit rate (epr). Expected profit rate (epr) diperoleh berdasarkan :
a. Tingkat
keuntungan rata-rata pada industri sejenis.
b. Pertumbuhan
ekonomi.
c. Dihitung
dari nilai rpr yang berlaku di bank
yang bersangkutan.
Penghitungannya :
Nisbah bank = epr/expected return
bisnis yang dibiayai * 100%
Actual
return bank = nisbah bank +
aktual return bisnis
Contoh kasus:
penentuan target return untuk kontrak dengan hasil
tidak pasti
Bank Permata memprediksikan nilai epr
dari proyek Halal sebesar 15%. Dengan mempertimbangkan target return, bank menetapkan nisbah bagi hasil antara bank dan
pengusaha 40:60 (bank:nasabah). Dari transaksi proyek Halal tersebut dihasilkan
keuntungan akyual sebesar Rp. 30 Juta (modal yang digunakan, misalnya sebesar
Rp. 75 juta). Bila bank Permata memprediksikan nilai epr dari suatu proyek sebesar 20% (dengan asumsi aktual return
usaha yang dibiayai adalah Rp. 100 juta) dan target keuntungan aktual adalah
Rp. 60 juta, maka dengan menetapkan tingkat perolehan aktual tetap, bank dapat
menetapkan tingkat nisbah bagi hasil dengan pengusaha sebesar 30:70
(bank:nasabah)
Contoh kasus:
penentuan target return untuk kontrak dengan hasil
pasti
Pak Amin mempunyai modal usaha 100 juta.
Modal tersebut diusahakan dalam bisnis perumahan. Setiap satu kali transaksi
jual beli rumah, Amin mendapatkan keuntungan 10 juta atau 10%. Dari pengalaman
sebelumnya selama satu tahun, Amin dapat menjual rumah sebanyak enam unit.
Suatu ketika ada seseorang yang ingin membeli rumah tersebut dengan pembayaran
di kemudian hari, yaitu pada akhir tahun.. apabila Amin menjual rumah tersebut
dengan margin keuntungan 10% maka dia akan mengalami kerugian atau kehilangan
peluang untuk melakukan penjualan rumah lagi sebanyak lima kali per unit. Oleh
karena itu, untuk menutup hilangnya opportunity
loss, Amin menawarkan harga rumah kepada seseorang tersebut dengan harga
160 juta atau margin keuntungan sebesar 60%. Dengan demikian, kita dapat
melihat bahwa tingkat 60% tersebut adalah sama dengan tingkat keuntungan 10%
dengan enam kali transaksi.
Tingkat keuntungan jual beli juga
dipengaruhi oleh factor lain, seperti tingkat harga di pasar. Meskipun
demikian, penjual perlu mengacu kepada aturan fikih dalam menentukan harga
kontan dengan harga cicilan. Dengan demikian, penentuan nilai rpr dapat dihitung dengan menggunakan
rumus berikut ;
rpr = π . v
Ï€ adalah tingkat
keuntungan dalam transaksi tunai; v adalah jumlah transaksi yang bisa dilakukan
dalam satu periode.
Contoh :
Bila dalam suatu
pembiayaan yang memberikan hasil pasti (murabahah),
bank menetapkan tingkat keuntungan sebesar 12%, sementara pembiayaan tersebut
membutuhkan dana sebesar Rp. 200 juta, maka bank sudah bisa melakukan prediksi
bahwa keuntungan aktual yang akan diperoleh adalah :
Keuntungan aktual yang
diperoleh = rpr x jumlah pembiayaan
=
12% x Rp. 200 juta
=
Rp. 24 juta
c.
Penetapan
Harga Jual Murabahah yang Efisien
Bank pada umumnya telah menggunakan murabahah sebagai model pembiayaan yang
utama. Praktik di Indonesia, pertofolio pembiayaan murabahah mencapai 70 – 80 %. Kondisi demikian ini tidak hanya di
Indonesia, tetapi juga terjadi seperti di Malaysia dan Pakistan. Pada
pembahasan sebelumnya telah dikemukakan ada sejumlah alasan yang diajukan untuk
menjelaskan popularitas murabahah
dalam operasi investasi perbankan syariah.
Berdasarkan kondisi dan alasan praktik murabahah di Islamic Banking, maka ada semacam “kecaman” atau penilaian
masyarakat terhadap praktik Islamic
Banking: tidak jauh berbeda dengan bank konvensional (bank bunga). Hasil
penelitian yang dilakukan oleh BI menunjukkan bahwa 15% responden menilai tidak
ada bedanya dengan bank konvensional, “hanya beda bungkusnya.” Kalangan awam
juga menilai bahwa dalam mengambil keuntungan, lebih besar dibandingkan dengan
bank konvensional.
Kondisi inilah yang harus dicarikan
solusinya, karena selama ini kalangan awam menilai yang namanya lembaga syariah
selalu identik dengan harga murah. Jika terjadi penjualan barang dengan harga
lebih tinggi dibanding harga jual ban tidak syariah, maka dinilai lebih tidak
Islami. Padahal, suatu ketika memang bisa terjadi demikian adanya. Oleh karena
itu, perlu kiranya dicarikan kemasan produk murabahah
yang memberikan keuntungan secara adil antara pihak bank dan nasabah peminjam murabahah.
Bagaimana kemasan murabahah dapat
adil?
Islamic Banking
harus tidak hanya menjadikan tingkat suku bunga sebagai rujukan dalam penentuan
harga jual (pokok + margin) produk murabahah.
Cara penetapan margin yang hanya mengacu pada suku bunga merupakan langkah sesat
sekaligus menyesatkan, dan lebih berat lagi dapat merusak reputasi Islamic Banking. Dalam praktiknya,
barangkali tingginya margin yang diambil oleh pihak Islamic Banking adalah untuk mengantisipasi naiknya suku bunga di
pasar atau inflasi. Sehingga, kalua terjadi kenaikan suku bunga yang besar,
maka Islamic Banking tidak mengalami
kerugian secara riil. Namun demikian, apabila suku bunga di pasar tetap stabil,
atau bahkan turun, maka margin murabahah
akan lebih besar dibandingkan dengan tingkat bunga pada bank konvensional.
Dengan penetapan margin keuntungan murabahah yang tinggi ini, secara tidak
langsung bahkan dapat menyebabkan inflasi yang lebih besar daripada yang
disebabkan oleh suku bunga. Oleh karena itu, perlu dicari format atau formula
yang tepat, agar nilai penjualan dengan murabahah
tidak mengacu pada sikap antisipasi kenaikan suku bunga selama masa pembayaran
cicilan. Karena, mengaitkan margin keuntungan murabahah dengan bunga perbankan konvensional, baik di atasnya
maupun di bawahnya, tetaplah bukan cara yang baik.
Sebaiknya, penetapan harga jual murabahah dapat dilakukan dengan cara
Rasulullah ketika berdagang. Dalam menentukan harga penjualan, Rasul secara
transparan menjelaskan berapa harga belinya, berapa biaya yang telah dikeluarkan
untuk setiap komoditas, dan berapa keuntungan wajar yang diinginkan. Cara yang
dilakukan oleh Rasulullah ini dapat dipakai sebagai salah satu metode Islamic Banking dalam menentukan harga
jual produk murabahah. Dengan
demikian, secara matematis harga jual barang oleh bank kepada calon nasabah
pembiayaan murabahah dapat dihitung
dengan rumus sebagai berikut :
Harga Jual Bank =
|
Harga Beli Bank +
Cost Recovery + Keuntungan
|
|||
Cost Recovery =
|
Proyeksi
Biaya Operasi
|
|||
Target
Volume Pembiayaan
|
||||
Cost
Recovery + keuntungan
|
x 100%
|
|||
Harga
Beli Bank
|
||||
Biaya yang dikeluarkan dan harus
dikembalikan (cost recovery) bisa
didekati dengan membagi proyeksi biaya operasional bank, dengan target volume
pembiayaan murabahah di Islamic Banking. Angka-angka tersebut
dapat diperoleh dari Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP). Angka yang
diperoleh kemudian ditambahkan dengan harga beli dari pemasok dan keuntungan
yang diinginkan, sehingga didapatkan harga jual. Margin dalam konteks ini
adalah cost recovery ditambah dengan
keuntungan bank. Apabila margin ingin dihitung persentasenya, tinggal dibagi
dengan harga beli barang dikalikan 100%.
Setelah angka-angka tersebut didapat,
barulah persentase margin ini dibandingkan dengan suku bunga. Jadi, suku bunga
hanya dijadikan benchmark. Agar
pembiayaan murabahah kompetitif,
margin murabahah harus lebih kecil
daripada bunga pinjaman. Jika masih lebih besar, maka yang harus dimainkan
adalah dengan memperkecil cost recovery
dan keuntungan yang diharapkan.
Langkah pertama adalah menurunkan
keuntungan. Jika keuntungan sudah turun sampai batas minimal, dan ternyata
marginnya masih lebih besar daripada bunga bank, maka tentu ada yang tidak
beres dengan cost recovery. Artinya,
efisiensi bank tersebut rendah. Efisiensi yang rendah itu dapat ditingkatkan
dengan mengurangi biaya operasional pada target volume pembiayaan pada biaya
operasional pada target volume pembiayaan yang sama. Efisiensi juga dpat
dicapai dengan memperbesar target volume pembiayaan pada biaya operasional yang
sama. Hal ini dapat dicapai dengan meningkatkan kualitas SDM Islamic Banking. Semakin berkualitas SDM
dalam meyakinkan nasabah untuk mendepositokan dananya ke Islamic Banking, semakin banyak pula dana yang dapat disalurkan
untuk pembiayaan murabahah. Dengan
demikian, semakin besar peluang untuk meningkatkan efisiensi.
Lebih cantik lagi bila pengurangan biaya
operasional dilakukan bersamaan dengan meningkatkan volume pembiayaan.
Efisiensi tinggi akan segera diperoleh, cost
recovery semakin kecil dan insya Allah keuntungan bank akan meningkat
walaupun dengan margin murabahah yang
lebih kecil daripada bunga pinjaman bank konvensional. Hal penting yang perlu
diingat dan dicatat, hasil perhitungan margin yang dicantumkan dalam kontrak murabahah dinyatakan dalam angka
nominal, bukan bentuk persentasenya.
Contoh
Kasus :
Tuan Ali berkeinginan
membeli sebuah mobil untuk kepentingan usaha antar jemput anak sekolah. Harga
beli mobil sebesar Rp. 150.000.000,00 pada saat ini Tuan Ali hanya memiliki
dana Rp. 30.000.000,00. Untuk mengatasi kekurangan dana tersebut, Tuan Ali menghubungi
Islamic Banking TOAT untuk
mendapatkan pemecahan masalah akibat kekurangan dana tersebut. Islamic banking menawarkan solusi dengan
akad murabahah. Islamic Banking
memperkirakan biaya operasional Rp. 200.000.000,00 dalam satu tahun, jumlah
pembiayaan Rp. 5 miliar, mark-up yang
ditentukan (hanya sekali) 10% dari pembiayaan murabahah, dan lama pembiayaan dua tahun. Bagaimana cara
penyelesaiannya?
Jawab
(penyelesaian dengan rumus harga jual efisien)
Data
pembiayaan
Harga
pokok mobil = Rp.
150.000.000,00
Dibayar
nasabah (uang muka) = Rp. 30.000.000,00
Kekurangan
dibayar bank = Rp. 120.000.000,00
(1) Hitung
cost recovery
Cost Recovery
= (Pembiayaan Murabahah/Estimasi
Total Pembiayaan) x Estimasi Biaya Operasi 1 tahun
Cost Recovery = (Rp. 120 juta/Rp. 5 miliar) x
Rp 200 juta
= Rp.
4.800.000,00
(2) Hitung
mark-up
Mark-up = 10% x pembiayaan
Mark-up = 10% x Rp. 120 juta
= Rp.
12.000.000,00
(3) Hitung
harga jual bank
Harga
Jual Bank = Pembiayaan + cost recovery + Mark-up
= Rp.120
juta + (2 x Rp.4.800.000,00) + 12 juta
= Rp.
141.600.000,00
(4) Hitung
angsuran pembiayaan
Angsuran
Pembiayaan = Rp. 141.600.000,00/24
bulan
= Rp.
5.900.000,00
(5) Hitung
total harga jual
Total
Harga Jual = Rp.
150.000.000,00 + Rp. 16.800.000,00
= Rp.
166.800.000,00
(6) Hitung
margin dalam persentase
Margin
dalam % = Cost Recovery + Mark up/Harga beli
= [(2 x
4.800.000,00 + Rp. 12.000.000,00)/
Rp. 150.000.000,00] x 100%
= 14,4%
= 0,6%[7]
BAB
III
PENUTUP
1. Murabahah adalah akad jual beli atas suatu
barang, dengan harga yang disepakati antara penjual dan pembeli, setelah
sebelumnya penjual menyebutkan dengan sebenarnya harga perolehan atas barang
tersebut dan besarnya keuntungan yang diperolehnya.
2.
Pada
tahun1997 terjadi perubahan besar dalam pengembangan produk perbankan syariah,
terutama dalam pembiayaan. Produk pembiayaan tidak lagi dikategorikan untuk
tujuan investasi atau modal kerja, melainkan dibagi menurut jenisnya. Dari
sekian produk yang dikembangkan perbankan syariah, sampai saat ini murabahah
adalah produk yang mendominasi portofolio hampir seluruh pembiayaan. Murabahah
dikenal dalam fiqh sebagai salah satu dari bay al-‘amanah yaitu jual
beli yang terjadi berdasarkan kepercayaan kepada penjual yang menjelaskan
tentang harga beli terhadap barang tersebut.
Akad
murabahah sebagai salah satu metode pembiayaan bank syariah mendapat perhatian
dari berbagai pihak antara lain : Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN),
Undang-undang Perbankan dan Peraturan Bank Indonesia, Accounting and Auditing
Organization for Islamic Financial Organization (AAOIFI) yang berpusat di
Bahrain, Islamic Financial Service Board (IFSB), International Islamic
Financial Market (IIFM). Terdapat beberapa praktik perbankan yang dapat
diterima oleh syariah, baik karena
perbolehkan secara kesepakatan maupun secara ijtihad.
1.
Umum
(Pembayaran dengan cicilan, Uang muka, Diskon untuk pembiayaan dipercepat,
Perhitungan keuntungan, Denda bagi yang terlambat membayar atau menunggak.
2.
Tipe-tipe
penarapan dalam perbankan syariah
Berikut beberapa kendala yang umum ditemukan dalam penerapan
murabahah : Ketentuan perpajakan, Ketentuan hukum, Sikap nasabah, Sikap bank.
3.
Tujuan perbandingan
ringkas di sini adalah untuk melihat apakah ada perbedaan yang signifikan
antara pembiayaan dengan Murabahah dengan pembiayaan lewat bunga tetap untuk
tujuan – tujuan yang sama. Perbadingan difokuskan pada aspek – aspek berikut :
harga pembiayaan, risiko dalam pembiayaan murabahah, keamanan, hubungan antara
bank dan pembeli, dan penyelesaian utang.
4.
Kendala
yang dihadapi, meliputi :
1. Ketentuan perpajakan.
2. Ketentuan hukum.
3. Sikap nasabah.
4. Sikap bank.
5. Aplikasi
Akuntansi Murabahah
Murabhahah merupakan salah
satu produk penyaluran dana yang cukup digemari BMT karena karakternya yang profitable, mudah dalam penerapan, serta
dengan risk-factor yang ringan untuk
diperhitungkan. Mula-mula BMT membeli barang sebagaimana dimaksud kepada pihak
ketiga dengan harga tertentu, secara langsung atau melalui wakil yang ditunjuk,
untuk selanjutnya barang tersebut dijual kepada nasabah dengan harga tertentu
setelah ditambah keuntungan (mark-up)
yang disepakati bersama. Besarnya keuntungan yang diambil BMT atas transaksi
murabahah tersebut bersifat ‘constant’, dalam pengertian tidak berkembang dan
tidak pula berkurang, serta tidak terkait apalagi terikat oleh fluktuasi nilai
tukar rupiah terhadap dolar. Keadaan ini berlangsung hingga akhir pelunasan
hutang oleh nasabah kepada BMT. Penerapan - Penerapan
Metode Pembiayaan “
1.
Penerapan Mark-up Pricing pembiayaan
2.
Penerapan Target Return Pricing Pembiayaan
3.
Penetapan Harga Jual Murabahah yang Efisien
DAFTAR PUSTAKA
H.
Cecep Hakim Maskanul. 2011. Belajar
Mudah Ekonomi Islam. Pamulang Tanggerang Selatan Banten : Shuhuf Media
Insani
H.
Rivai Veithzal. 2008. Islamic Financial Management : teori, konsep dan aplikasi
: panduan praktis untuk lembaga keuangan, nasabah, praktisi, dan mahasiswa. Jakarta
: Raja Grafindo Persada
Ilmi
Makhalul. 2002. Teori dan praktek mikro keuangan syari’ah: beberapa
permasalahan dan alternatif solusi. Yogjakarta: UII Press Yogjakarta
A.
Perwataatmadja H. Karnaen. 1992. Apa dan Bagaimana Bank Islam. Yogyakarta : PT.
DANA BHAKTI PRIMA YASA.
[1] H.
Veithzal Rivai. Islamic Financial Management : teori, konsep dan aplikasi :
panduan praktis untuk lembaga keuangan, nasabah, praktisi, dan mahasiswa,
(jakarta : Raja Grafindo Persada, 2008), hlm : 145 - 146
[2]
H. Cecep Maskanul Hakim, Belajar Mudah Ekonomi Islam, (Pamulang
Tanggerang Selatan Banten : Shuhuf Media Insani, 2011), hlm. 71-75
[3]H.
Veithzal Rivai. Islamic Financial Management : teori, konsep dan aplikasi :
panduan praktis untuk lembaga keuangan, nasabah, praktisi, dan mahasiswa, (jakarta
: Raja Grafindo Persada, 2008), hlm : 149- 160
[4]
H. Cecep Maskanul Hakim, Belajar Mudah Ekonomi Islam, (Pamulang
Tanggerang Selatan Banten : Shuhuf Media Insani, 2011), hlm. 78-80.
[5]
Makhalul Ilmi,teori dan praktek mikro keuangan syari’ah: beberapa permasalahan
dan alternatif solusi (Yogjakarta: UII Press Yogjakarta, 1992), hlm.38-41.
[6] H. Karnaen A. Perwataatmadja,
Apa dan Bagaimana Bank Islam, (Yogyakarta : PT. DANA BHAKTI PRIMA YASA, 1992),
hlm : 25 - 26
[7] H.
Veithzal Rivai. Islamic Financial Management : teori, konsep dan aplikasi :
panduan praktis untuk lembaga keuangan, nasabah, praktisi, dan mahasiswa,
(jakarta : Raja Grafindo Persada, 2008), hlm : 166 - 173
Tidak ada komentar:
Posting Komentar