Sabtu, 08 April 2017

Makalah Zakat dan Wakaf

MAKALAH
PENGERTIAN ZAKAT, RUKUN, DAN SYARAT ZAKAT
Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas dari matakuliah Fiqih Zakat dan Wakaf
Dosen Pengampu :
Ahmad Fauzi, Lc., M.H.I



Disusun oleh :
Kelompok I
Nur Fitriyani (17401153356)

PERBANKAN SYARIAH III C
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI TULUNGAGUNG
SEPTEMBER 2016


 BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Zakat adalah rukun Islam ketiga setelah syahadat dan shalat. Zakat merupakan sendi pokok agama yang sangat penting, bukan saja karena ia merupakan kewajiban utama kepada Allah yang wajib ditunaikan, namun kewajiban ini mengandung ekses strategis dalam rangka membangun kekuatan ekonomi masyarakat Islam. Sebuah realita yang tidak dapat dipungkiri bersama terpampang dihadapan kita, bahwa kehidupan ekonomi masyarakat dunia memiliki ketimpangan diantara sebagian masyarakat dengan sebagian lainnya. Beberapa kelompok masyarakat memiliki kekayaan yang luar biasa banyak, sedangkan beberapa kelompok lainnya mengalami kesulitan ekonomi yang serius, bahkan hanya untuk memenuhi kebutuhan pokok kesehariannya. Realitas ini muncul dan selalu ada dikarenakan sistem nilai yang mengatur tata kehidupan ekonomi masyarakat memang tidak menjamin terselesaikannya kesenjangan ekonomi ini dengan baik. Demikian itu karena ia dirumuskan tanpa rujukan nilai – nilai ilahiyah. Padahal nilai – nilai ilahiyah itulah sebuah nilai yang ketika menetapkan aturan – aturannya jauh dari unsur – unsur kepentingan subjektif, karena datang dari Dzat yang menciptakan dan menguasai seluruh makhluk.
Konsep zakat, sebagai konsep yang ditetapkan oleh Allah Swt, diturunkan untuk menjamin terjadinya proses ta’awun atau kerja sama antar hamba – hamba Allah dalam membangun kehidupan ekonominya. Demikian itu karena merupakan sunnatullah bahwa manusia berbeda kondisinya antara yang satu dengan yang lain. Zakat disyariatkan memang dengan tujuan menciptakan keharmonisan hubungan antara si kaya dengan si miskin. Zakat ditetapkan bukan untuk menghilangkan kemiskinan, juga bukan untuk merampas harta dari si kaya. Ini karena Islam sendiri mengakomodasi kepemilikan pribadi hingga batas yang sangat jauh. Yang diinginkan Islam hanyalah bagaimana agar harta sisa dari si kaya bisa memberi manfaat dan tersalurkan kepada mereka yang kekurangan. Dengan begitulah maka kesenjangan ekonomi tidak berbuah kecemburuan, tidak menimbulkan dengki dan kebencian.



B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana definisi zakat ?
2.      Bagaimana dalil – dalil disyariatkannya zakat ?
3.      Bagaimana sebab, syarat dan rukun zakat ?

C.    Tujuan Pembahasan
1.      Memahami dan mengetahui definisi zakat
2.      Memahami dan mengetahui dalil – dalil disyariatkannya zakat
3.      Memahami dan mengetahui sebab, syarat dan rukun zakat







                            

















BAB II
PEMBAHASAN
A.    Definisi Zakat
Secara bahasa, zakat berarti tumbuh (numuww) dan bertambah (ziyadah). Jika diucapkan, zaka al-zar’, artinya adalah tanaman itu tumbuh dan bertambah. Jika diucapkan zakat al-nafaqah, artinya nafkah tumbuh dan bertambah jika diberkati. Kata ini juga sering dikemukakan untuk makna thaharah (suci). [1] Maka orang yang berzakat berarti membersihkan dan mensucikan diri. Berzakat juga berarti mengembangkan hartanya (diakhirat), selain bahwa zakat berarti menciptakan keberkahan.
Seseorang yang membayar zakat karena keimanannya niscaya akan memperoleh kebaikan yang banyak, karena jiwa dan hartanya menjadi suci dan bersih.
Allah Swt. Berfirman,
Pungutlah zakat dari sebagian kekayaan mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dari mensucikan mereka” (At – Taubah : 103).
Sedekah dan zakat termasuk didalamnya, merupakan amalan yang sangat dicintai Allah, hingga uang yang disedekahkan sesungguhnya akan berkembang penuh berkah.[2] Maksudnya, zakat itu akan mensucikan orang yang mengeluarkannya dan akan menumbuhkan pahalanya. Adapun zakat menurut syara’ berarti hak yang wajib (dikeluarkan dari) harta.
Mazhab Maliki mendefinisikannya dengan, “Mengeluarkan sebagian yang khusus dari harta yang khusus pula yang telah mencapai nishab (batas kuantitas yang mewajibkan zakat) kepada orang – orang yang berhak menerimanya (mustahiqq)-nya. Dengan catatan, kepemilikan itu penuh dan mencapai hawl (setahun), bukan barang tambang dan bukan pertanian”.
Mazhab Hanafi mendefinisikan zakat dengan,”Menjadikan sebagian harta yang khusus dari harta yang khusus sebagai milik orang yang khusus, yang ditentukan oleh syariat karena Allah swt.” Kata “Menjadikan sebagian harta milik” (tamlik) dalam definisi di atas dimaksudkan sebagai penghindaraan dari kata ibahah                  ( pembolehan).
Dengan demikian, seandainya seseorang memberi makan seorang anak yatim dengan niat mengeluarkan zakat, zakat dengan cara tersebut dianggap tidak sahih. Lain halnya dengan jika makanan itu diserahkan kepada anak yatim tersebut, seperti halnya ketika dia memberikan pakaian kepadanya, dengan syarat, kepemilikan harta itu dikaitkan kepadanya (yakni, orang yang menerimanya). Jika harta yang diberikan itu hanya dihukumi sebagai nafkah kepada anak yatim, syarat – syarat tersebut tidak diperlukan.
Yang dimaksud dengan kata “Sebagian harta” dalam pernyataan diatas ialah keluarnya manfaat (harta) dari orang yang memberikannya. Dengan demikian, jika seseorang menyuruh orang lain untuk berdiam dirumahnya selama setahun dengan diniati sebagai zakat, hal itu belum bisa dianggap sebagai zakat.
Yang dimaksud dengan “bagian yang khusus” ialah kadar yang wajib dikeluarkan. Maksud “harta yang khusus” adalah nishab yang ditentukan oleh syariat. Maksud “orang yang khusus” ialah para mustahiqq zakat. Yang dimaksud dengan “yang ditentukan syariat” ialah seperempat puluh (yakni 2,5%) dari nishab yang ditentukan, dan yang telah mencapai hawl. Dengan ukuran seperti inilah zakat nafilah dan zakat fitrah dikecualikan. Sedangkan yang dimaksud dengan pernyataan “karena Allah swt.” Adalah bahwa zakat itu dimaksudkan untuk mendapatkan ridha Allah SWT.
Menurut mazhab Syafi’I, zakat adalah sebuah ungkapan untuk keluarnya harta atau tubuh sesuai dengan cara khusus. Sedangkan menurut mazhab Hanbali, zakat ialah hak yang wajib (dikeluarkan) dari harta yang khusus untuk kelompok yang khusus pula. Yang dimaksud dengan kelompok khusus adalah delapan kelompok yang disyariatkan oleh Allah SWT. Dalam ayat Al-Quran berikut :
Sesungguhnya zakat – zakat itu hanyalah untuk orang – orang fakir, orang – orang miskin, pengurus – pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan budak), orang – orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang – orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui Lagi Maha Bijaksana”(QS. 9:60)
Yang dimaksud dengan “waktu yang khusus” ialah sempurnanya kepemilikan selama satu tahun (hawl), baik dalam binatang ternak, uang, maupun barang dagangan, yakni sewaktu dituainya biji – bijian, dipetiknya buah – buahan, dikumpulnya madu, atau digalinya barang tambang, yang semuanya wajib dizakati. Maksud lain dari “waktu yang khusus” ialah waktu terbenamnya matahari pada malam hari raya karena pada saat itu diwajibkan zakat fitrah.
Pernyataan “wajib” berarti bahwa zakat tersebut bukan sunnah, seperti halnya mengucapkan salam atau mengantarkan jenazah. Pernyataan “harta” berarti bahwa zakat bukan berupa jawaban terhadap salam. Pernyataan “khusus” berarti bahwa harta yang dizakati bukan harta yang berstatus wajib, artinya harta itu bukan harta yang harus dibayarkan untuk utang atau untuk memberi nafkah kepada keluarga. Pernyataan “kelompok yang khusus” berarti bahwa waktu yang dikeluarkannya zakat tersebut bukan waktu zakat yang dinazari atau zakat kafarat.
Dari sini jelaslah bahwa kata zakat, menurut terminologi para fuqaha, dimaksudkan sebagai “penuaian”, yakni penuaian hak yang wajib yang terdapat dalam harta. Zakat juga dimaksudkan sebagai bagian harta tertentu dan yang diwajibkan oleh Allah untuk diberikan kepada orang – orang fakir. Zakat dinamakan sedekah karena tindakan itu akan menunjukkan kebenaran (shidq) seorang hamba dalam beribadah dan melakukan ketaatan kepada Allah SWT.[3]

B.     Dalil – Dalil Disyariatkannya Zakat
Zakat adalah rukun Islam ketiga yang diwajibkan di Madinah pada bulan Syawal tahun kedua Hijriyah, setelah diwajibkannya puasa Ramadhan dan zakat fitrah. Ayat – ayat zakat, sedekah, dan infak yang turun di Makkah baru berupa anjuran dan penyampainnya menggunakan metodologi pujian bagi yang melaksanakannya dan teguran bagi yang meninggalkannya.
Zakat tidak diwajibkan kepada semua nabi dan rasul karena zakat berfungsi sebagai alat pembersih kotoran dan dosa, sedangkan para nabi dan rasul terbebas dari dosa dan kemaksiatan karena mereka mendapat jaminan penjagaan dari Allah SWT. Disamping itu, kekayaan yang ada ditangan para nabi adalah titipan dan amanah Allah SWT. Yang tidak dapat diwariskan.
Landasan kewajiban zakat disebutkan dalam Al – Quran, Sunnah Nabi, dan disepakati oleh para ulama.


Dalil Al – Quran :
Allah Swt. Berfirman
Dirikanlah shalat dan tunaikan zakat dan ruku’lah bersama orang – orang yang ruku’(Al – Baqarah: 43).”
Dan firman-Nya :
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan doakanlah mereka karena sesungguhnys doamu dapat member keterangan bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar Lagi Maha Mengetahui (At – Taubah: 103).”
Juga firman-Nya :
Makanlah buahnya jika telah berbuah dan tunaikan haknya (kewajibannya) di hari memetik hasilnya (dengan dikeluarkan zakatnya) (Al-An’am :141).”
Dari Sunnah Nabi
Dari Abdullah bin Umar, Rasulullah SAW. bersabda,
Islam dibangun atas limar ukuun : Syahadat tiada Tuhan kecuali Allah dan Muhammad saw utusan Allah, menegakkan shalat, membayar zakat, menunaikan haji dan puasa Ramadhan (HR. Bukhari dan Muslim).”
Dari Ali bin Abi Thalib, Nabi Saw. bersabda,
Sesungguhnya Allah mewajibkan (zakat) atas orang – orang kaya dari umat Islam pada harta mereka dengan batas sesuai kecukupan fuqara diantara mereka. Orang – orang fakir tidak akan kesulitan pada saat mereka lapar atau mereka tidaklah telanjang kecuali karena ulah orang – orang kaya diantara mereka. Ingatlah bahwa Allah akan menghisab mereka dengan keras dan mengadzab mereka dengan pedih (HR. Thabrani).”
Ijma’ Para Ulama
Karena dalil – dalil yang menunjukkan kewajiban zakat demikian jelas dan bersifat qath’iy, maka para ulama, baik salaf (klasik) maupun khalaf  (kontemporer), telah sepakat tentang kewajibannya. Sebagaimana mereka sepakat dalam hal ini, mereka juga sepakat bagi mereka yang mengingkarinya, bahwa mereka telah kafir (keluar) dari Islam.[4]

C.    Sebab, Syarat dan Rukun Zakat
Mazhab Hanafi berpendapat bahwa penyebab zakat ialah adanya harta milik yang mencapai nishab dan produktif kendatipun kemampuan produktivitas itu baru berupa perkiraan. Dengan syarat, pemilikan harta tersebut telah berlangsung satu tahun, yakni tahun qamariyah bukan tahun syamsyiah, dan pemiliknya tidak memiliki utang yang berkaitan dengan hak manusia. Syarat lainnya, harta tersebut melebihi kebutuhan pokoknya.
Perlu dicatat bahwa sebab dan syarat merupakan tempat bergantungnya wujud sesuatu. Hanya saja, kepada sebablah kewajiban disandarkan, lain halnya dengan syarat. Dengan demikian, barang siapa yang hartanya tidak mencapai nishab, dia tidak berkewajiban mengeluarkan zakat. Tidak ada zakat dalam harta wakaf karena wakaf tidak ada yang memiliki. Begitu juga, zakat tidak diwajibkan dalam harta yang ditahan oleh musuh didaerah mereka sebab meskipun harta tersebut dimiliki, ia berada ditangan musuh.
Yang dimaksud  dengan nishab ialah kadar yang ditentukan oleh syariat sebagai ukuran mengenai kewajiban mengeluarkan zakat. Atas dasar ini, zakat tidak diwajibkan terhadap harta yang dibeli untuk perdagangan yang belum dimiliki, yakni karena kepemilikan itu belum sempurna. Menurut kesepakatan semua mazhab, harta benda yang menjadi kebutuhan pokok tidak wajib dizakati, misalnya pakaian untuk menutupi tubuh, harta yang dipakai, rumah tempat tinggal, perabot rumah tangga, binatang kendaraan, senjata yang digunakan, buku – buku ilmiah – yang tidak diniati sebagai buku dagangan – dan perabot kerja. Harta benda diatas tidak wajib dizakati karena semuanya merupakan keperluan – keperluan pokok dan tidak produktif.
Begitu juga menurut mazhab Hanafi, harta yang hilang yang baru ditemukan setelah beberapa tahun, yakni harta yang tidak produktif, tidak wajib dizakati. Demikian pula harta yang tenggelam kedalam laut yang baru ditemukan setelah beberapa tahun berikutnya. Zakat juga tidak diwajibkan terhadap harta yang di-ghashab oleh orang lain, yang tidak mempunyai bukti – bukti kepemilikannya. Namun, jikia harta yang di-ghashab tersebut memiliki bukti kepemilikannya, harta tersebut wajib dizakati, setelah berada ditangan pemiliknya.
Orang yang memiliki harta benda yang terpendam disebuah tempat yang tidak diketahui secara jelas, lalu beberapa waktu kemudian hartanya ditemukan, tidak wajib mengeluarkan zakatnya. Begitu juga, orang yang menyimpan harta titipan yang terlupakan, yang bukan milik temannya; yakni milik orang lain, tidak wajib mengeluarkan zakatnya. Akan tetapi, jika titipan yang terlupakan itu milik temannya, zakatnya wajib dikeluarkan. Kelupaan terhadap barang titipan tersebut terjadi karena sikap meremehkan yang tidak pada tempatnya.
Harta benda yang diutangi oleh orang lain, yang pengutangnya memungkirinya selama beberapa tahun dan tidak ada bukti atas utang tersebut, tetapi, kemudian dia mengakuinya dihadapan orang, tidak wajib dikeluarkan zakatnya. Begitu juga, harta yang diambil secara zalim, kemudian kembali kepemiliknya, tidak wajib dizakati. Adapun jika harta tersebut diutangi oleh orang yang mengakuinya dan kaya, atau oleh orang miskin, atau oleh orang yang tidak mempunyai uang, atau oleh orang yang memungkirinya tetapi ada bukti bahwa dia berhutang, maka harta tersebut wajib dizakati. Untuk orang yang memungkiri bahwa dirinya berhutang, menurut pendapat yang bisa dipercaya, harta tersebut baru wajib dizakati ketika telah berada ditangan pemiliknya.
Dalil mazhab Hanafi mengenai tidak wajibnya zakat pada harta – harta diatas ialah hadist berikut.
Tidak ada zakat dalam harta dhimar”
Maksud harta dhimar ialah harta yang tidak bisa dimanfaatkan, padahal ia masih menjadi milik pemiliknya.
Menurut kesepakatan ulama, zakat tidak diwajibkan atas harta yang kepemilikannya belum mencapai satu tahun (hawl). Hal ini ditegaskan oleh hadist Nabi yang penjelasannya akan penulis uraikan dalam pembahasan mengenai syarat zakat.
Zakat juga, menurut kesepakatan ulama, tidak diwajibkan pada harta benda berupa permata, mutiara, dan yang sejenis dengan keduanya, misalnya batu mulia yang berwarna indah, batu permata, dan biji mutiara sebab tidak ada nash yang mewajibkan barang – barang seperti ini untuk dizakati. Lain halnya bila barang – barang tersebut dijadikan barang dagangan.
Menurut Jumhur, binatang ternak yang rumputnya diupayakan oleh pemiliknya (ma’lufah) atau binatang yang dipekerjakan tidak wajib dizakati. Zakat hanya diwajibkan atas binatang yang merumput sendiri di tempat terbuka (sa’imah). Namun, mazhab Maliki mewajibkan dikeluarkannya zakat pada binatang – binatang tersebut.


a.   Rukun Zakat
Rukun zakat ialah mengeluarkan sebagian dari nishab (harta), dengan melepaskan kepemilikan terhadapnya, menjadikannya sebagai milik orang fakir, dan menyerahkannya kepada atau harta tersebut diserahkan kepada wakilnya; yakni imam atau orang yang bertugas untuk memungut zakat.
b.   Syarat Zakat
Zakat mempunyai beberapa syarat wajib dan syarat sah. Menurut kesepakatan ulama, syarat wajib zakat adalah merdeka, muslim, baligh, berakal, kepemilikan harta yang penuh, mencapai nisab, dan mencapai hawl.
Adapun syarat sahnya, juga menurut kesepakatan mereka, adalah niat yang menyertai pelaksanaan zakat.
1.      Syarat Wajib Zakat
Syarat wajib zakat, yakni kefarduannya, ialah sebagai berikut:
1.   Merdeka
Menurut kesepakatan ulama, zakat tidak wajib atas hamba sahaya karena hamba sahaya tidak mempunyai hak milik. Tuannyalah yang memiliki apa yang ada ditangan hambanya. Begitu juga, mukatib (hamba sahaya yang dijanjikan akan dibebaskan oleh tuannya dengan cara menebus dirinya) atau yang semisal dengannya tidak wajib mengeluarkan zakat, karena kendatipun dia memiliki harta, hartanya tidak dimiliki secara penuh. Pada dasarnya, menurut jumhur, zakat diwajibkan atas tuan karena dialah yang memiliki harta hambanya. Oleh karena itu, dialah yang wajib mengeluarkan zakatnya, seperti halnya harta yang berada ditangan syarik (partner) dalam sebuah usaha perdagangan. Mazhab Maliki berpendapat bahwa tidak ada kewajiban zakat pada harta milik seorang hamba sahaya, baik atas nama hamba sahaya itu sendiri maupun atas nama tuannya karena harta milik hamba sahaya tidak sempurna (naqish), padahal zakat pada hakikatnya hanya diwajibkan pada harta yang dimiliki secara penuh. Selain itu, tuan hamba sahaya tidak berhak memiliki harta hamba sahayanya.
2.   Islam
Menurut ijma’, zakat tidak wajib atas orang kafir karena zakat merupakan ibadah mahdhah yang suci sedangkan orang kafir bukan orang suci. Mazhab Syafi’I, berbeda dengan mazhab – mazhab yang lainnya, mewajibkan orang murtad untuk mengeluarkan zakat hartanya sebelum riddah-nya terjadi, yakni harta yang dimilikinya ketika dia masih menjadi seorang muslim. Riddah, menurut mazhab ini, tidak menggugurkan kewajiban zakat. Berbeda dengan Abu Hanifah. Dia berpendapat bahwa Riddah menggugurkan kewajiban zakat sebab orang murtad sama dengan orang kafir. Adapun harta yang dimiliki sewaktu Riddah berlangsung, menurut pendapat mazhab Syafi’I yang paling sahih, hukumnya adalah bergantung pada harta itu sendiri. Jika orang yang murtad tadi kembali kedalam agama Islam sedangkan hartanya (yang didapatkan sewaktu Riddah-nya) masih ada, zakat wajib atasnya. Tetapi, jika harta tersebut tidak ada, dia tidak berkewajiban mengeluarkan zakat.
Para fuqaha tidak mewajibkan zakat atas orang kafir asli kecuali dalam dua hal, yaitu
Pertama, sepersepuluh. Mazhab Maliki, Hanbali dan Syafi’I berpendapat bahwa kafir dzimmi, perdagangan yang dibawa olehnya ke Makkah dan Madinah atau daerah – daerah sekitanya diambil seperduapuluh darinya, baik perdagangan tersebut berupa gandum maupun khususnya minyak tanah.
Mengenai harta yang diambil dari kafir harbi dan dzimmi, Abu Hanifah mengajukan nishab sebagai syaratnya. Dia berpendapat bahwa khusus untuk kafir dzimmi harta yang diambil darinya adalah seperduapuluh, sedangkan kafir harb sebanyak sepersepuluh. Diambilnya harta dari mereka ini ialah sebagai balasan atas perlindungan yang mereka dapatkan.
Menurut mazhab Syafi’I, tidak sedikit pun harta yang diambil dari mereka kecuali dengan adanya perjanjian dikalangan mereka. Dengan demikian, jika seseorang ­kafir harbi telah mengadakan perjanjian untuk menyerahkan hartanya sepersepuluh, harta itu hendaknya diambil. Namun, jika tidak ada perjanjian diantara mereka, tidak sedikitpun harta yang diambil dari kafir harbi tersebut.
Kedua, Abu Hanifah, Syafi’I dan Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa khusus untuk orang nasrani dari bani Tughlub, zakatnya mesti dilipatgandakan karena zakat berfungsi sebagai pengganti upeti. Lagipula, tindakan ini merupakan pelanjutan tindakan Umar r.a. Adapun menurut Malik, pengkhususan itu tidak di nash kan dalam Islam.
3.   Baligh dan Berakal
Keduanya dipandang sebagai syarat oleh mazhab Hanafi. Dengan demikian, zakat tidak wajib diambil harta anak kecil dan orang gila sebab keduanya tidak termasuk dalam ketentuan orang yang wajib mengerjakan ibadah; seperti shalat dan puasa, sedangkan menurut jumhur, keduanya bukan merupakan syarat. Oleh karena itu, zakat wajib dikeluarkan dari harta anak kecil dan orang gila. Zakat tersebut dikeluarkan oleh walinya. Pendapat ini berdasarkan hadist.
barang siapa menjadi wali seorang anak yatim yang mempunyai harta, hendaknya dia memperdagangkannya untuknya. Dia tidak boleh membiarkan harta tersebut habis dimakan zakat”.
Lagi pula, zakat dikeluarkan sebagai pahala untuk orang yang mengeluarkannya dan bukti solidaritas terhadap orang fakir. Anak kecil dan orang gila termasuk juga orang yang berhak mendapatkan pahala dan membuktikan rasa solidaritas mereka. Atas dasar ini, mereka wajib member nafkah kepada kerabat – kerabat mereka. Pendapat ini, lebih baik sebab didalamnya terkandung upaya untuk merealisasikan kemaslahatan orang – orang fakir, memenuhi kebutuhan mereka, menjaga harta dari rongrongan orang – orang yang mengincarnya, menyucikan jiwa, dan melatih sifat suka menolong dan dermawan.
4.   Harta yang dikeluarkan adalah Harta yang Wajib Dizakati
Harta yang mempunyai criteria ini ada lima jenis, yaitu : a) uang, emas, perak, baik berbentuk uang logam maupun uang kertas; b) barang tambang barang temuan; c) barang dagangan; d) hasil tanaman dan buah – buahan; dan e) menurut jumhur, binatang ternak yang merumput sendiri, atau menurut mazhab Maliki, binatang yang diberi makan oleh pemiliknya (ma’lufah).
Harta yang dizakati disyaratkan produktif, yakni berkembang sebab salah satu makna zakat adalah berkembang dan produktivitas tidak dihasilkan kecuali dari barang – barang yang produktif. Yang dimaksud dengan berkembang disini bukan berarti berkembang yang sebenarnya. Akan tetapi, maksud berkembang disini ialah bahwa harta tersebut disiapkan untuk dikembangkan, baik melalui perdagangan maupun kalau berupa binatang diternakkan. Pendapat ini adalah menurut jumhur. Alasannya, karena peternakan menghasilkan keturunan dan lemak dari binatang tersebut dan perdagangan menyebabkan didapatkannya laba. Dengan demikian, sebab ditempatkan pada musabab (akibat).
Atas dasar ini, zakat tidak wajib dikeluarkan dari mutiara, intan, barang tambang selain emas dan perak, barang – barang yang dikenakan (dipakai), harta milik pokok, tempat tinggal, kuda, keledai, khimar, singa, anjing yang dilatih, madu, susu, perabot – perabot kerja, dan buku – buku ilmu pengetahuan, kecuali jika diperdagangkan.
Abu Hanifa berpendapat bahwa kuda yang digembalakan atau yang dimiliki untuk dikembangbiakkan keturunannya, wajib dikeluarkan zakatnya, sedangkan menurut pendapat yang difatwakan dalam mazhabnya, kuda tersebut tidak wajib dikeluarkan zakatnya. Mazhab Hanafi, Hanbali, dan Zhahiri mewajibkan dikeluarkannya zakat pada madu, sedangkan mazhab Maliki dan Syafi’I tidak mewajibkannya.
5.      Harta yang Dizakati Telah Mencapai Nisab atau Senilai Dengannya
        Maksudnya ialah nisab yang ditentukan oleh syara’ sebagai tanda kayanya seseorang dan kadar – kadar berikut yang mewajibkannya zakat. Walaupun demikian, kesimpulannya ialah bahwa nisab emas adalah 20 mitsqal atau dinar. Nisab perak adalah 200 dirham. Nisab biji – bijian, buah – buahan setelah dikeringkan, menurut selain mazhab Hanafi ialah 5 watsaq (653 kg). Nisab kambing adalah 40 ekor, nisab unta 5 ekor, dan nisab sapi 30 ekor.
6.      Harta yang Dizakati Adalah Milik Penuh
        Para fuqaha berbeda pendapat tentang apa yang dimaksud dengan harta milik. Apakah yang dimaksud dengannya ialah harta milik yang sudah berada ditangan sendiri, ataukah harta milik yang hak pengeluarannya berada ditangan seseorang, dan ataukah harta yang dimiliki secara asli.
        Mazhab Hanafi berpendapat bahwa yang dimaksud dengannya ialah harta yang dimiliki secara utuh dan berada ditangan sendiri yang benar – benar dimiliki. Dengan demikian, binatang – binatang wakaf yang digembalakan dan kuda – kuda yang diwakafkan tidak wajib dizakati sebab harta – harta tersebut tidak menjadi hak milik. Harta yang berada dibawah kekuasaan musuh dan ditempatkan di daerahnya, juga tidak wajib dizakati karena dengan demikian, menurut mazhab Hanafi, berarti musuh memiliki harta tadi. Oleh karena itu, hilanglah kepemilikan dari seorang Muslim.
7.   Kepemilikan Harta Telah Mencapai Setahun Menurut Hitungan Tahun Qamariyah
        Menurut mazhab hanafi, nisab disyaratkan harus sempurna antara dua sisi tahun, baik pada pertengahan tahun tersebut terdapat bulan yang nisab hartanya sempurna maupun tidak. Dengan demikian, apabila seseorang memiliki harta yang telah mencapai nisab pada permulaan tahun, kemudian harta tersebut tetap utuh sampai berakhirnya tahun tersebut, dia wajib mengeluarkan zakatnya. Dengan catatan bahwa selama setahun tadi, harta tersebut tidak mengalami penyusutan secara penuh, apalagi lenyap semuanya. Zakat juga diwajibkan ketika harta tersebut berkurang pada pertengahan tahun tetapi kemudian utuh kembali pada akhir tahun. Atas dasar ini, berkurangnya harta pada pertengahan tahun tidak berpengaruh jika pada awal dan akhirnya utuh kembali. Harta yang dimanfaatkan, meskipun berupa hibah atau warisan pada pertengahan tahun dipandang sebagai harta asli. Ia wajib dikeluarkan zakatnya karena pemeliharaan terhadap harta yang dimanfaatkan tersebut dan pencocokan tahunnya sulit dilakukan, apalagi jika harta yang telah mencapai nisab itu berupa beberapa dirham yang setiap harinya diambil satu atau dua dirham. Pada dasarnya, hawl disyaratkan sebagai kemudahan untuk orang yang mengeluarkan zakat.
8.   Harta Tersebut Bukan Merupakan Harta Hasil Utang
        Mazhab hanafi memandangnya sebagai syarat dalam semua zakat selain zakat harts (biji – bijian dan yang menghasilkan minyak nabati), sedangkan mazhab hanbali memandangnya sebagai syarat dalam semua harta yang akan dizakati. Mazhab Maliki sendiri berpendapat bahwa syarat tersebut ditujukan untuk zakat emas dan perak, bukan untuk zakat harts, binatang ternak, barang tambang. Adapun mazhab Syafi’I berpendapat bahwa hal diatas termasuk syarat.
9.   Harta Yang Akan Dizakati Melebihi Kebutuhan Pokok
        Mazhab Hanafi mensyaratkan agar harta yang wajib dizakati terlepas dari utang dan kebutuhan pokok sebab orang yang sibuk mencari harta untuk kedua hal ini sama dengan orang yang tidak mempunyai harta. Ibnu Malik menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan kebutuhan pokok ialah harta yang secara pasti bisa mencegah seseorang dari kebinasaan, misalnya nafkah, tempat tinggal, perkakas perang, pakaian yang diperlukan untuk melindungi panas dan dingin, dan pelunasan utang. Orang yang memiliki utang perlu melunasi utangnya dengan harta yang dimilikinya yang telah mencapai nisab. Hal ini dimaksudkan untuk menghindarkan dirinya dari penahanan yang pada dasarnya sama juga dengan kebinasaan. Harta yang digunakan untuk pelunasan utang sama dengan perkakas pekerjaan, perabot rumah tangga, binatang kendaraan, dan buku – buku ilmiah bagi pemiliknya. Menurut mazhab ini, yakni mazhab Hanafi, kebodohan adalah sama dengan kebinasaan.
2.   Syarat – Syarat Sah Pelaksanaan Zakat
a.       Niat
           Para fuqaha sepakat bahwa niat merupakan syarat pelaksanaan zakat. Pendapat ini berdasarkan sabda Nabi Saw berikut :
Pada dasarnya, amalan – amalan itu dikerjakan dengan niat.”
Pelaksanaan zakat termasuk salah satu amalan. Ia merupakan ibadah seperti halnya salat. Oleh karena itu, ia memerlukan adanya niat untuk membedakan antara ibadah yang fardu dan nafilah.
b.      Zakat dikeluarkan setelah dia diwajibkan dengan adanya hawl, atau harta tersebut merupakan harta yang baik (thayyib), atau telah ada ditangan. Dengan demikian, jika zakat dikeluarkan sebelum waktu wajibnya tiba, zakat tersebut tidah shahih. Pendapat ini bertentangan dengan pendapat jumhur. Mengakhirkan zakat sesudah waktu wajibnya tiba, padahal ada kemampuan untuk mengeluarkannya secara cepat menjadi sebab adanya tanggungan. Dan hal itu merupakan kemaksiatan.
c.       Menyerahkan harta yang dizakati kepada mustahiqq-nya, bukan kepada yang lainnya.
d.      Harta yang dikeluarkan zakatnya adalah harta yang wajib dizakati.[5]


BAB III
PENUTUP
Ahmadi, Sari Priyatna Yeni. 2004. Zakat, Pajak, Dan Lembaga Keuangan Islami Dalam Tinjauan Fiqih. Solo : ERA INTERMEDIA.
Al-Zuhayly Wahbah. 2008. Zakat , Kajian Berbagai Mazhab. Bandung : PT REMAJA ROSDAKARYA





[1] Wahbah Al-Zuhayly, Zakat , Kajian Berbagai Mazhab, (Bandung : PT REMAJA ROSDAKARYA, 2008), hlm 82
[2] Ahmadi, Yeni Priyatna Sari. Zakat, Pajak, Dan Lembaga Keuangan Islami Dalam Tinjauan Fiqih, (Solo : ERA INTERMEDIA, 2004), hlm : 15
[3] Wahbah Al-Zuhayly, Zakat : Kajian Berbagai…hlm :83 - 85
[4] Wahbah Al-Zuhayly, Zakat, Kajian Berbagai…, hlm : 86 - 89

[5] Ahmadi, Yeni Priyatna Sari. Zakat, Pajak, Dan Lembaga Keuangan…,hlm : 95 -115

Angket Kewirausahaan

Nama : Nur Fitriyani
Kelas : PS/IVC
NIM : 17401153356
Angket Survei Peluang Usaha Nugget sayuran dan Nugget Buah
No.
Nama Item
Jawab


Iya
Tidak
Jarang
Keterangan
1.
Apakah anda seseorang yang mempunyai selera makan tinggi ?




2.
Apakah anda menyukai makanan yang dibekukan ?




3.
Apakah anda sering memasak makanan yang digoreng ?




4.
Apakah anda sering membeli makanan yang di goreng seperti Nugget ?




5.
Apakah anda menyukai Nugget yang terbuat dari sayuran ?




6.
Apakah anda menyukai Nugget yang terbuat dari buah ?




7.
Apakah anda mengetahui banyak penjual yang menjual Nugget sayuran




8.
Apakah anda mengetahui banyak penjual yang menjual Nugget Buah




9.
Apakah anda menyukai varian sayuran dalam Nugget sayuran ?




10.
Apakah anda menyukai varian buah dalam Nugget buah ?




11.
Apakah anda menyukai dalam pengemasannya menggunakan plastik ?




12.
Apakah anda menyukai dalam pengemasannya menggunakan sterofoam ?




13.
Apakah anda menyukai dalam pengemasannya menggunakan kertas ?




14.
Apakah anda mengetahui banyak toko yang menjual Nugget sayuran ?




15.
Apakah anda mengetahui banyak toko yang menjual Nugget Buah




16.
Apakah anda berminat jika Nugget sayuran dan Nugget Buah dijual dengan harga Rp 10.000 per kemasan




17.
Apakah anda berminat jika pemesanan Nugget sayuran dan Nugget buah secara online ?




18
apakah anda berminat jika pembelian Nugget memberikan jasa antar gratis apabila pembelian lebih dari 10 kemasan




19
Apakah anda mengetahui jika ada toko Nugget lain yang harganya dibawah Rp 10.000 per kemasan ?




20
Apabila pelayanan Nugget kurang baik, apakah anda akan memberikan kritikan demi kebaikan bersama ?