Sabtu, 08 April 2017

Pertautan Antara Islam dan Budaya Longkangan


            Sentuhan-sentuhan Islam mewarnai berbagai ritual dan tradisi masyarakat Indonesia, sebagai bukti terbentuknya asimilasi. Suatu kali agama datang pada suatu daerah, cara penyampaian materi dan ajaran agama bersifat “membumi”. Maksudnya adalah agar ajaran atau pesan diterima oleh masyarakat. Demikian pula kehadiran Islam di Jawa yang dibawa oleh para pendakwah dengan beragam cara penyampaian, salah satunya aspek budaya lokal. Ajaran agama berusaha menyesuaikan diri dengan beberapa aspek lokal, agar tidak bertentangan secara diametris pada substantif agama tersebut.
            Menurut Tedi Sutardi dalam bukunya Antropologi Mengungkap Keragaman Budaya, budaya lokal merupakan suatu kebiasaan dan adat istiadat daerah tetentu, yang lahir secara alamiah, berkembang, dan sudah menjadi kebiasaan yang sukar diubah. Budaya Masyarakat yang tinggal didaerah pedalaman (pedesaan) yang tinggal di daerah pantai berbeda. Budaya lokal masyarakat pedalaman (pedesaan) terlihat tenang dengan karakteristik masyarakatnya yang cenderung tertutup. Adapun budaya lokal masyarakat yang tinggal di daerah pantai terlihat keras dan karakteristik masyarakatnya relatif terbuka.
Budaya lokal bersifat tradisional yang masih dipertahankan. Namun, adakalanya perspektif individu terhadap budaya lokal dipandang buruk. Nilai budaya lokal tidak selalu dipandang buruk dan harus dihindari. Justru nilai tradisional itu harus digali dan digunakan untuk mendukung dan membangun agar tidak bertentangan dengan nilai modern khususnya ajaran Islam.
Zaman yang terus berkembang mempengaruhi sistem sosial budaya. Dewasa ini, budaya lokal dimaknai sebagai pengetahuan sejumlah orang. Dengan demikian, budaya lokal merupakan kebiasaan dan nilai bersama yang dianut masyarakat tertentu, sering dihubungkan dengan kebudayaan suku bangsa. Konsep suku bangsa sendiri sering dipersamakan dengan konsep persamaan kelompok etnik.
Upacara Adat Longkangan
Jawa Timur mempunyai banyak budaya lokal, salah satu yang masih dilakukan ialah upacara adat Longkangan. Salah satu upacara yang masih terus dikembangkan dan dilestarikan oleh masyarakatnya.  Kabupaten Trenggalek tepatnya kecamatan Munjungan merupakan daerah yang masih tetap mempertahankan tradisi Longkangan.
Longkangan merupakan upacara adat labuh laut. Upacara ini merupakan agenda rutin dilaksanakan setiap tahun memasuki bulan suro (kalender Jawa). Lokasi upacara adat Longkangan berpusat di Pantai Blado Munjungan. Terhitung sudah budaya Longkangan tahun 2017 memasuki tahun ke-168. Upacara adat Longkangan digelar oleh Bapak Camat dan seluruh Kepala Desa serta sesepuh dari Kecamatan Munjungan, untuk diarak serta dilarung ke laut lepas.
Serangkaian upacara Longkangan ditandai dengan pembawaan tumpeng agung dan berbagai hasil bumi. Bentuk upacara adat Longkangan terdiri atas dua bagian yaitu, proses upacara dan tata urutan upacara. Proses upacara adat Longkangan perlu memperhatikan lokasi pelaksanaan, waktu pelaksanaan, pelaku upacara, tujuan upacara dan sesaji upacara. Sedangkan, tata urutan upacara itu sendiri terdiri dari pra upacara, inti upacara, dan penutup upacara.
Serangkaian proses upacara adat Longkangan, selalu diiringi dengan tari Tayub. Fungsi Tari tayub ini sebagai simbol yang sakral syarat wajib upacara. Kepercayaan masyarakat Munjungan bahwasannya Tari Tayub sebagai penghormatan terhadap roh-roh leluhur, serta salah satu perwujudan roh-roh leluhur. Maksudnya adalah agar diberikan kemakmuran dan terhindar dari malapetaka.
Mayoritas warga Munjungan hidup dari hasil tangkapan melaut. Upacara adat Longkangan ini ditujukan untuk mensyukuri nikmat Tuhan atas hasil tangkapan melaut. Hal itu pula sekaligus peringatan terhadap leluhur yang memulai membuka kawasan Munjungan, utamanya Roro Puthut. Masyarakat meyakini ia adalah utusan dari Ratu Pantai Selatan untuk mengawasai Pantai Ngampiran, Blado, Sumberang, dan Ngadipuro. Dari segi pemerintahan, upacara ini bertujuan untuk melestarikan budaya daerah, sebagai peningkatan promosi serta mempererat hubungan nelayan dengan pemerintah.
Islam dan Upacara Adat Longkangan
            Budaya adaptif dalam masyarakat pesisir sebagai ciri utama kaitannya dengan Islam. Hal tersebut dapat dilihat dalam tradisi lokal yang dipandu dan dipedomani untuk memberikan corak dalam upacara adat. Dalam hal ini, bagi masyarakat pesisir Islam sebagai kerangka referensi tindakan. Seluruh tindakan merupakan ekspresi dari ajaran Islam yang telah adaptif dalam budaya lokal.
            Realitas kenyataan bahwa ritual dan tradisi Longkangan selalu dilakukan oleh kalangan muslim tradisional. Walaupun kawasan religius atau ranah agama disadari bahwa aspek yang dominan adalah sebagai budaya suatu gugus masyarakat. Oleh karena itu, ritual keagamaan dipandang sebagai budaya keagamaan, bukan ajaran inti agama itu sendri.
            Agama dan keberagaman tidak akan hidup secara baik, jika tidak mengadopsi dari budaya baik (al sunnah al tsaqawiyyah) Ibagi pengembangannya. Oleh sebab itu, perlu dipertimbangkan, bahwa jika unsur-unsur budaya dalam aspek lokalitas akan dicabut secara sistematis dan keseluruhan dari suatu agama, dipastikan yang terjadi adalah keburukan dalam bentuk pertentangan antagonis antara kelompok masyarakat.
            Kaidah-kaidah yang menjadi acuan dalam sumber hukum fiqih, menyatakan bahwa mencegah terjadinya keburukan dan mengutamakan membuat kebaikan. Membersihkan agama dari berbagai anasir non-agama masih dapat dipandang sebagai niat baik dalam agama. Menghilangkan agama dalam aspek lokalitas budaya yang masuk dalam agama, sehingga suatu agama hanya membawa unsur budaya asing, dimana agama tersebut lahir, adalah suatu keburukan yang dapat menimbulkan penolakan dari masyarakat, yang sudah memiliki akar tradisi kuat sendiri.
Pembawaan alamiah ini membuat kebanyakan manusia selalu berpikir pragmatis dan praktis. Upaya yang demikian adalah perwujudan sifat manusia setiap orang. Islam menampik realitas semacam itu, melainkan mengadopsinya dalam bingkai hukum apresiatif dan akomodatif.
Faktor lain yang harus diperhitungkan dalam kerangka mensikapi budaya yang masuk menjadi bagian agama adalah, adanya kaidah bahwa suatu budaya dan agama yang sudah mengakar dan diterima secara mayoritas dalam suatu kelompok muslim, maka hal tersebut dapat menjadi justifikasi perumusan dalam hukum fiqih. Karena hukum fiqih merupakan produk yang selalu berkembang seiring dengan perkembangan zaman dan masyarakat.

                       
           








             



Tidak ada komentar:

Posting Komentar