Sentuhan-sentuhan Islam mewarnai berbagai ritual dan
tradisi masyarakat Indonesia, sebagai bukti terbentuknya asimilasi. Suatu kali
agama datang pada suatu daerah, cara penyampaian materi dan ajaran agama bersifat
“membumi”. Maksudnya adalah agar ajaran atau pesan diterima oleh masyarakat.
Demikian pula kehadiran Islam di Jawa yang dibawa oleh para pendakwah dengan
beragam cara penyampaian, salah satunya aspek budaya lokal. Ajaran agama
berusaha menyesuaikan diri dengan beberapa aspek lokal, agar tidak bertentangan
secara diametris pada substantif agama tersebut.
Menurut Tedi Sutardi dalam bukunya Antropologi Mengungkap Keragaman Budaya, budaya lokal merupakan
suatu kebiasaan dan adat istiadat daerah tetentu, yang lahir secara alamiah,
berkembang, dan sudah menjadi kebiasaan yang sukar diubah. Budaya Masyarakat
yang tinggal didaerah pedalaman (pedesaan) yang tinggal di daerah pantai berbeda.
Budaya lokal masyarakat pedalaman (pedesaan) terlihat tenang dengan
karakteristik masyarakatnya yang cenderung tertutup. Adapun budaya lokal masyarakat
yang tinggal di daerah pantai terlihat keras dan karakteristik masyarakatnya
relatif terbuka.
Budaya
lokal bersifat tradisional yang masih dipertahankan. Namun, adakalanya
perspektif individu terhadap budaya lokal dipandang buruk. Nilai budaya lokal
tidak selalu dipandang buruk dan harus dihindari. Justru nilai tradisional itu
harus digali dan digunakan untuk mendukung dan membangun agar tidak bertentangan
dengan nilai modern khususnya ajaran Islam.
Zaman
yang terus berkembang mempengaruhi sistem sosial budaya. Dewasa ini, budaya
lokal dimaknai sebagai pengetahuan sejumlah orang. Dengan demikian, budaya
lokal merupakan kebiasaan dan nilai bersama yang dianut masyarakat tertentu,
sering dihubungkan dengan kebudayaan suku bangsa. Konsep suku bangsa sendiri
sering dipersamakan dengan konsep persamaan kelompok etnik.
Upacara
Adat Longkangan
Jawa
Timur mempunyai banyak budaya lokal, salah satu yang masih dilakukan ialah upacara
adat Longkangan. Salah satu upacara yang masih terus dikembangkan dan
dilestarikan oleh masyarakatnya. Kabupaten
Trenggalek tepatnya kecamatan Munjungan merupakan daerah yang masih tetap
mempertahankan tradisi Longkangan.
Longkangan
merupakan upacara adat labuh laut. Upacara ini merupakan agenda rutin
dilaksanakan setiap tahun memasuki bulan suro
(kalender Jawa). Lokasi upacara adat Longkangan berpusat di Pantai Blado
Munjungan. Terhitung sudah budaya Longkangan tahun 2017 memasuki tahun ke-168.
Upacara adat Longkangan digelar oleh Bapak Camat dan seluruh Kepala Desa serta
sesepuh dari Kecamatan Munjungan, untuk diarak serta dilarung ke laut lepas.
Serangkaian
upacara Longkangan ditandai dengan pembawaan tumpeng agung dan berbagai hasil
bumi. Bentuk upacara adat Longkangan terdiri atas dua bagian yaitu, proses
upacara dan tata urutan upacara. Proses upacara adat Longkangan perlu
memperhatikan lokasi pelaksanaan, waktu pelaksanaan, pelaku upacara, tujuan
upacara dan sesaji upacara. Sedangkan, tata urutan upacara itu sendiri terdiri
dari pra upacara, inti upacara, dan penutup upacara.
Serangkaian
proses upacara adat Longkangan, selalu diiringi dengan tari Tayub. Fungsi Tari
tayub ini sebagai simbol yang sakral syarat wajib upacara. Kepercayaan
masyarakat Munjungan bahwasannya Tari Tayub sebagai penghormatan terhadap
roh-roh leluhur, serta salah satu perwujudan roh-roh leluhur. Maksudnya adalah
agar diberikan kemakmuran dan terhindar dari malapetaka.
Mayoritas
warga Munjungan hidup dari hasil tangkapan melaut. Upacara adat Longkangan ini ditujukan
untuk mensyukuri nikmat Tuhan atas hasil tangkapan melaut. Hal itu pula
sekaligus peringatan terhadap leluhur yang memulai membuka kawasan Munjungan,
utamanya Roro Puthut. Masyarakat meyakini ia adalah utusan dari Ratu Pantai
Selatan untuk mengawasai Pantai Ngampiran, Blado, Sumberang, dan Ngadipuro.
Dari segi pemerintahan, upacara ini bertujuan untuk melestarikan budaya daerah,
sebagai peningkatan promosi serta mempererat hubungan nelayan dengan
pemerintah.
Islam
dan Upacara Adat Longkangan
Budaya adaptif
dalam masyarakat pesisir sebagai ciri utama kaitannya dengan Islam. Hal
tersebut dapat dilihat dalam tradisi lokal yang dipandu dan dipedomani untuk
memberikan corak dalam upacara adat. Dalam hal ini, bagi masyarakat pesisir
Islam sebagai kerangka referensi tindakan. Seluruh tindakan merupakan ekspresi
dari ajaran Islam yang telah adaptif dalam budaya lokal.
Realitas kenyataan bahwa ritual dan tradisi Longkangan
selalu dilakukan oleh kalangan muslim tradisional. Walaupun kawasan religius
atau ranah agama disadari bahwa aspek yang dominan adalah sebagai budaya suatu
gugus masyarakat. Oleh karena itu, ritual keagamaan dipandang sebagai budaya
keagamaan, bukan ajaran inti agama itu sendri.
Agama dan keberagaman tidak akan hidup secara baik, jika
tidak mengadopsi dari budaya baik (al
sunnah al tsaqawiyyah) Ibagi pengembangannya. Oleh sebab itu, perlu
dipertimbangkan, bahwa jika unsur-unsur budaya dalam aspek lokalitas akan
dicabut secara sistematis dan keseluruhan dari suatu agama, dipastikan yang
terjadi adalah keburukan dalam bentuk pertentangan antagonis antara kelompok
masyarakat.
Kaidah-kaidah yang menjadi acuan dalam sumber hukum fiqih,
menyatakan bahwa mencegah terjadinya keburukan dan mengutamakan membuat
kebaikan. Membersihkan agama dari berbagai anasir non-agama masih dapat
dipandang sebagai niat baik dalam agama. Menghilangkan agama dalam aspek
lokalitas budaya yang masuk dalam agama, sehingga suatu agama hanya membawa
unsur budaya asing, dimana agama tersebut lahir, adalah suatu keburukan yang
dapat menimbulkan penolakan dari masyarakat, yang sudah memiliki akar tradisi
kuat sendiri.
Pembawaan
alamiah ini membuat kebanyakan manusia selalu berpikir pragmatis dan praktis. Upaya
yang demikian adalah perwujudan sifat manusia setiap orang. Islam menampik
realitas semacam itu, melainkan mengadopsinya dalam bingkai hukum apresiatif
dan akomodatif.
Faktor
lain yang harus diperhitungkan dalam kerangka mensikapi budaya yang masuk
menjadi bagian agama adalah, adanya kaidah bahwa suatu budaya dan agama yang
sudah mengakar dan diterima secara mayoritas dalam suatu kelompok muslim, maka
hal tersebut dapat menjadi justifikasi perumusan dalam hukum fiqih. Karena
hukum fiqih merupakan produk yang selalu berkembang seiring dengan perkembangan
zaman dan masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar