ETIKA DAN PERILAKU BISNIS SYARIAH
Makalah
ini ditujukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
Pengantar Bisnis Syariah
Dosen Pengampu:
Ahmad Budiman, M.Si
Disusun
oleh Kelompok 3 :
Kelas IIIC
Aula Cindikia (17401153062)
Suli
Anjarwati (17401153127)
Nur
Fitriyani (17401153356)
JURUSAN PERBANKAN SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI TULUNGAGUNG
SEPTEMBER 2016
KATA PENGANTAR
Bismillahirrohmanirrohim
Syukur Alhamdulillah senantiasa penulis haturkan ke
hadirat Allah SWT. Yang telah melimpahkan rahmat, taufiq, serta hidayahnya,
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Etika dan Perilaku
Bisnis Syariah”
Sholawat serta salam semoga senantiasa terlimpahkan
kepada junjungan kita Nabi agung Muhammad SAW yang telah memberi suri tauladan
kepada kita lewat ajaran Islam.
Penulis menyadari, bahwa dalam penulisan makalah ini
terdapat banyak kekurangan dan kelemahannya. Namun karena adanya dukungan dari
berbagai pihak maka hambatan tersebut dapat kami atasi.
Oleh karena itu penulis mengucapkan banyak terimakasih
kepada:
1. Dr.
Maftukhin, M. Ag. Selaku ketua
IAIN Tulungagung yang telah memberikan kesempatan kepada
kami untuk menimba ilmu di IAIN
Tulungagung.
2.
Ahmad Budiman,
M.H.I selaku dosen pengampu mata kuliah Pengantar
Bisnis Syariah
yang telah membimbing dan mengarahkan kami untuk mendapat
pemahamaman yang benar mengenai mata kuliah ini.
3.
Semua
pihak yang telah membantu terselesainya penyusunan makalah ini.
Penulis merasa bahwa dalam penyusunan makalah ini masih
jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis mengharap kritik yang sifatnya
membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Akhirnya semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi banyak
pihak dan semoga kita selalu mendapatkan petunjk dari Allah SWT. Amin.
Tulungagung, 13
September 2016
Penulis
DAFTAR
ISI
BAB I
PENDAHULUAN
Masalah etika bisnis akhir-akhir ini semakin banyak
dibicarakan bukan hanya di tanah air kita, tetapi juga di negara-negara
maju. Perhatian mengenai masalah ini tidak terlepas dari semakin berkembangnya
dunia usaha kita sebagai hasil pembangunan selama ini. Kegiatan bisnis yang
makin merebak baik di dalam maupun di luar negeri, telah menimbulkan tantangan
baru yaitu adanya tuntutan praktek bisnis yang baik, yang etis yang juga
menjadi tuntutan kehidupan bisnis di banyak negara di
dunia.
Perkembangan IPTEK yang cepat juga berpengaruh pada
masalah etika bisnis. Benteng moral dan etika harus ditegakkan guna
mengendalikan kemajuan dan penerapan teknologi bagi kemanusiaan. Etika bisnis
merupakan sebuah kontradiksi istilah karena ada pertentangan antara etika dan
minat pribadi yang berorientasi pada pencarian keuntungan. Ketika ada konflik antara
etika dan keuntungan, bisnis lebih memilih keuntungan dari pada etika.
Tindakan etis merupakan strategi bisnis jangka panjang
terbaik bagi perusahaan. Oleh karena itu, pemahaman tentang etika bisnis
diperlukan untuk para pelaku bisnis agar usaha yang dijalankan dapat menjadi
suatu usaha bisnis yang beretika dan mengurangi resiko kegagalan.
Dalam makalah ini kita akan membahas tentang masalah etika
dan perilaku bisnis syariah yang meliputi definisi etika bisnis syariah, konsep
etika dan perilaku bisnis syariah, doktrin etika bisnis syariah, dan perilaku
bisnis syariah.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana definisi Etika Bisnis Syariah ?
2.
Bagaimana konsep Etika Bisnis Syariah ?
3.
Bagaimana doktrin Etika bisnis Syariah ?
4.
Bagaimana perilaku Etika bisnis Syariah ?
C. Tujuan Pembahasan
1.
Memahami dan mengetahui definisi Etika Bisnis
Syariah
2.
Memahami dan mengetahui konsep Etika Bisnis
Syariah
3.
Memahami dan mengetahui doktrin Etika Bisnis
Syariah
4.
Memahami dan mengetahui perilaku Etika Bisnis Syariah
5.
PEMBAHASAN
Istilah etika bisnis berasal dari dua
kata yaitu etika dan bisnis. Etika berasal dari bahasa Yunani, “ethikos” yang mempunyai beragam arti; pertama,
sebagai analisis konsep-konsep mengenai apa yang harus, mesti, tugas,
aturan-aturan moral, benar salah, wajib, tanggung jawab, dan lain-lain. Kedua,
pencarian ke dalam watak moralitas atau tindakan-tindakan moral. Ketiga,
pencarian kehidupan yang baik secara moral.[1]
Sedangkan etika menurut Istiyono Wahyu dan Ostaria
(2006) adalah cabang utama filsafat yang mempelajari nilai atau kualitas. Etika
mencakup analisis dan penerapan konsep seperti benar-salah, baik buruk, dan
tanggung jawab. Etika adalah ilmu berkenaan tentang yang buruk dan tentang hak
kewajiban moral.[2] Etika
dapat didefinisikan sebagai seperangkat prinsip moral yang membedakan yang baik
dari yang buruk. Etika adalah bidang ilmu yang bersifat normatif karena ia
berperan menetukan apa yang harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan oleh
seorang individu.[3]
Menurut kamus, istilah etika memiliki beragam makna. Salah satunya adalah
“prinsip tingkah laku yang mengatur individu dan kelompok”. Makna kedua menurut
kamus, etika adalah “kajian moralitas”, meskipun etika berkaitan dengan
moralitas, namun tidak sama persis dengan moralitas. Etika adalah semacam
penelaahan, baik aktivitas penelaahan maupun hasil penelaahan itu sendiri,
sedangkan moralitas merupakan subjek.[4]
Dari penjelasan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa etika adalah
suatu hal yang dilakukan secara benar dan baik, tidak melakukan suatu
keburukan, melakukan hak kewajiban sesuai dengan moral dan melakukan segala
suatu dengan penuh tanggung jawab.[5]
Dalam islam, istilah yang paling dekat hubungan dengan istilah etika di
dalam Qur’an adalah khuluq. Qur’an juga mempergunakan sejumlah istiilah
lain untuk menggambarkan konsep tentang kebaikan: khyar (kebaikan), birr
(kebenaran), qist (persamaan), ‘adl (kesetraan dan keadilan), ma’ruf (mengetahui
dan menyetujui), dan taqwa (ketakwaan). Tindakan ynang terpuji disebut
sebagai salihat dan tindakan yang tercela disebut sebagai sayyi’at.[6]
Sedangkan bisnis secara etimologi, memiliki beberapa arti; usaha,
perdagangan, toko, perusahaan, tugas, urusan, hak, usaha dagang, usaha
komersial dalam dunia perdagangan atau bidang usaha. Dari pengertian secara
bahasa itu tampak bahwa bisnis adalah sebagai aktivitas rill ekonomi yang
secara sederhana dilakukan dengan cara jual beli atau pertukaran barang dan
jasa. Secara terminologi terdapat beberapa pengertian mengenai bisnis.
Menurut Hughes dan Kapoor, bisnis merupakan kegiatan usaha individu yang
terorganisir untuk menghasilkan laba atau menjual barang dan jasa guna
mendapatkan keuntungan dalam memenuhi kebutuhan masyarakat.[7]
Etika bisnis, kadangkala merujuk pada etika manajemen atau etika organisasi,
yang secara sederhana membatasi kerangka acuannya pada konsepsi sebuah
organisasi.[8]
Etika bisnis merupakan studi yang dikhususkan mengenai moral yang benar dan salah. Studi ini berkonsentrasi pada standar
moral, sebagaimana diterapkan dalam kebijakan, institusi, dan perilaku bisnis. Standar
etika bisnis tersebut diterapkan ke dalam sistem dan organisasi yang digunakan
masyarakat modern untuk memproduksi dan mendistribusikan barang dan jasa dan
diterapkan kepada orang-orang yang ada di dalam organisasi.[9]
1. Konsep
Peran Manusia
Untuk
memahami etika usaha yang Islami, terlebih dahulu harus dipahami peran (dan
tugas) manusia di dunia. Allah swt. Telah berfirman dalam surat Adz-Dzariyat
ayat 56.
“Dan aku tidak
menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”
Ayat ini menegaskan, bahwa Allah
swt. Tidaklah menjadikan jin dan manusia melainkan untuk mengenal-Nya dan
supaya menyembah-Nya.
Firman
Allah swt. dalam Surah At-Taubah ayat 31. Maksud ayat tersebut, mereka mematuhi ajaran-ajaran orang-orang alim dan
rahib-rahib mereka dengan membabi buta, biarpun orang-orang alim dan
rahib-rahib itu menyuruh membuat maksiat atau mengharamkan yang halal. Pendapat
ini sama dengan pendapat az Zajjaj, tetapi ahli tafsir yang lain
berpendapat, bahwa Allah swt. tidak menjadikan jin dan manusia kecuali untuk
tunduk kepda-Nya dan untuk merendahkan diri. Setiap makhluk, baik jin atau manusia, wajib tunduk kepada
peraturan Tuhan dan merendah diri terhadap
kehendak-Nya. Menerima apa yang iIa takdirkan, mereka dijadikan atas
kehendak-Nya dan diberi rezeki sesuai dengan apa yang telah ditentukan. Tidak
seorangpun dapat memberikan manfaat atau mendatangkan mudarat, karena semuanya
atas kehendak Allah swt. ayat tersebut
menguatkan perintah mengingat
allah swt. dan mengimbau manusia supaya melakukan ibadah kepada Allah.[10]
Oleh
karena itu, semua tindakan manusia di dunia ini adalah semata-mata ibadah,
semata-mata untuk mengabdi kepada Allah
swt. sebagai abdi Allah, dalam semua
tindakannya manusia harus mengikuti perintah-Nya dan menghindari larangan-Nya.
Semua tindakan tersebut juga termasuk tindakan dalam berusaha. Disamping sebagai abdi dari Allah
swt, manusia juga diangkat oleh Allah
swt. untuk menjadi khalifah dimuka bumi.
2. Konsep
Syariat Islam
Ketentuuan
Allah swt. yang berkaitan dengan manusia disebut sebagai syariat yang artinya
adalah jalan atau hukum aturan. Tentunya, syariat bagi umat Islam adalah
syariat Islam. Menurut Imam Ghazali, tujuan utama syariat adalah memelihara
kesejahteraan manusia yang mencakup perlindungan keimanan (aqidah), kehidupan,
akal, keturunan dan
harta benda (mal) mereka. Segala sesuatu yang menjamin terlindungnya kelima
perkara ini adalah maslahat bagi manusia dan dikehendaki oleh manusia.[11]
Pendapat
ahli pikir Islam ini (Imam
Ghazali) sangat baik untuk dijadikan panduan dalam menentukan prioritas hidup.
Urutan kelima perkara yang dikemukankan oleh Imam Ghazali pantas menjadi urutan
prioritas utama. Segala
sesuatu yang dapat menganggu apalagi sampai
mengurangi keimanan haruslah
ditinggalkan. Kemudian, kehidupan haruslah didahulukan daripada akal, atau hasil penalaran akal tidak boleh
dipakai untuk menganggu nilai kehidupan. Dan selanjutnya keturunan dan harta
benda tidak boleh membuat manusia
kehilangan akal. Itulah sebabnya, cita-cita manusia harus diorientasikan untuk menegakkan agama
Allah-agama Islam-s. serta semata-mata unutk mendapatkan ridho Allah
swt.
Ahli
pikir Islam Ibnu Qayyum juga mengatakan, bahwa orang yang tinggi cita-citanya
hanya menggantungkan segala urusannya
kepada Allah, tidak mengharapkan
sesuatu balasan kecuali ridha Allah. Tingkah laku dan etika yang
menghiasi pribadinya menjadi dasar dalam dakwah yang tidak ditukar dengan
sesuatu yang merusak kepribadiannya. Sehingga, syariat Islam akan menentukan
kepribadian seorang muslim yang akan tercermin dalam tingkah lakunya sehari-hari,
termasuk tingkah laku dalam berusaha dan dalam menghadapi tantangan hidup di
dunia.
3. Tata
Nilai Islam
Dalam
menjalankan perannya sebagai wakil
Allah swt. menjadi khalifah di
dunia, manusia harus mengikuti tata nilai yang telah ditetapkan Allah swt. tata
nilai tersebut mengacu pada tujuan
hidup manusia, yaitu memperoleh kesejahteraan hidup didunia dan di akhirat.
Allah swt. telah menentukan bahwa kesejahteraan di akhirat lebih penting dari
kesejahteraan di dunia, namun Allah swt. juga memperingatikan manusia untuk
tidak melupakan haknya atas kenikmatan di dunia. Allah menjelaskan
bahwa barang siapa yang menghendaki amal dan usahanya dengan pahala akhirat,
maka di mudahkan baginya untuk beramal
shaleh, kemudian mengganjar amalnya itu, satu kebaikan dengan sepuluh kebaikan
berlipat ganda, menurut kehendak Allah swt. begitu pula sebaliknya, barang
siapa mengharapkan kehendak usahanya kemewahan dunia dengan segala bentuknya
tidak ada sedikitpun perhatiannya tetang amalan dan pahala akhirat, maka Dia
akan memberikan sebanyak apa yang telah ditentukan baginya, tetapi ia tidak akan
memperoleh sedikitpun pahala akhirat, karena amal itu sendiri sesuai dengan
niatnya, dan bagi setiap orang
balasan amalnya sesuai dengan niatnya, sebagaimana sabda Nabi saw:
”Bahwasanya amal itu menurut
niatnya, dan bahwasanya bagi setiap orang mendapat balasan sesuai dengan dengan
apa yang telah diniatkannya.”(HR. BUkhari dan Muslim).
Dalam
menjalankan tugas mengabdi kepada Allah
swt. sebagai khlifah di dunia, manusia juga diperingatkan untuk tidak
terperosok dalam kenikmatan. Menggunakan rahmat Allah semata-mata untuk memenuhi hasrat pribadi
saja. Semua yang ada di langit dan
bumi adalah milik Allah swt. dan sebagian manusia dijadikan khlaifah untuk
menguasainya dengan amanah untk menafkahkan dijalan Allah, karena pada sebagian
dari harta tersebut terdapat bagian tertentu yang menjadi hak orang lain. Maksud menguasai disini
ialah, penguasaa yang bukan secara mutlah, hak milik pada Allah hakikatnya
adalah pada Allah. Manusia menafkahkan hartanya itu haruslah menurut hukum-hukum
yang telah disyariatkan Allah, karenanya manusia tidah boleh kikir dan boros.[12]
Demikianlah
tata nilai menurut ajaran Islam, yaitu sebagai berikut:
a. Kesejahteraan
di akhir lebih utama dari kesejahteraan di dunia, namun manusia tidak boleh
melupakan haknya atas kenikmatan dunia.
b. Namun
dilain pihak, kenikmatan dunia tidak boleh membuat manusia lupa akan
kewajibannya sebagai abdi Allah dan sebagai Khalifah di dunia.
c. Manusia
tidak akan memperoleh kecuali yang diusahakannya, dan Allah swt. menjamin akan
mendapatkan balasan yang sempurna.
d. Dalam
setiap rahmat dari Allah berupa harta yang diterima oleh manusia, terdapat hak
orang lain. Oleh karena itu, harta harus dibersihkan dengan zakat, infaq, dan
sedekah.
4. Dasar
Konsep Bisnis
Allah
telah memerintahkan kepada seluruh manusia
untuk hanya mengambil
segala sesuatu yang halal dan baik. Selain itu, Allah juga memerintahkan untuk
tidak mengikuti langkah-langkah syaitan dengan mengambil yang tidak halal.
Jadi,
sesungguhnya yang halal dan haram itu jelas, Bila masih diragukan, maka
sebenarnya ukurannya berkaitan erat dengan hati manusia itu sendiri. Bila
hatinya jernih,
maka segala yang halal kan menjadi jelas. Sesungguhnya segala sesuatu yang
tidak halal termasuk yang syubhat tidak boleh menjadi obyek usaha, dan
karenanya tidak mungkin menjadi bagian dari hasil usaha.
Ayat
– ayat al – Quran yang bernada positif dan optimis tentang manusia. Kisah
keluarnya Adam dari Jannah merupakan simbol “kebangkitan” manusia, yang
berhasil keluar dari kondisi naluri hewaninya, menuju terbentuknya sebuah
pribadi, yang menyadari potensi akalnya. Dengan akal itulah, manusia mampu
menjadi khalifah Allah dibumi, menjadi pengelola alam lingkungannya. Manusia
adalah satu – satu makhluk yang “bisa
merasa bosan dan tidak puas, yang bisa merasakan keterlemparannya dari Surga.
Ia mampu berlanjut untuk mengembangkan penalarannya, sehingga ia bisa menjadi
tuan bagi alam lainnya dan dirinya sendiri.
Penegasan
al – Quran tentang manusia dalam surat At – Tiin : 4-6, bahwa manusia adalah
mahkota ciptaan Allah. “Sesungguhnya, kami telah menciptakan manusia dalam
bentuk yang sebaik – baiknya (4)” Ayat ini telah memunculkan pengertian “baik”
(hasanah) yang memberikan sifat pada bentuk fisik yang menyangkut susunan
simetris (qawamma) segi badan atau tubuh
manusia. Predikat itu mengandung beban pada manusia, karena kemudian manusia,
akan (bisa) turun derajatnya sampai tingkat yang paling rendah (neraka) (5),
kecuali mereka yang mengisi eksistensinya dengan sikap dan perilaku yang baik,
yaitu orang – orang beriman dan melakukan perbuatan yang baik (amal saleh), dan
karenanya mereka akan memperoleh kebaikan – sukses (pahala) yang tiada putus –
putusnya (6). Disini, predikat baik, yaitu saleh tampil lagi, berpasangan
dengan hasanah. Ayat – ayat ini bermaksud membangkitkan kesadaran moral
manusia, agar manusia itu menjadi makhluk yang paling baik dari segi jasmaniah
maupun rohaniah.
a.
Ilmu
Predikat
diciptakan sebaik – baiknya itu menunjukkan bahwa kualitas manusia dilihat baik
dari segi fisik maupun dari segi rohaniahnya. Keunggulan manusia atas makhluk –
makhluk lain, termasuk makhluk yang disebut malaikat, tersirat dalam kisah Adam
yang diceritakan dalam surat al – Baqarah ayat 30 :
“ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada
malaikat : sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah dimuka bumi”,
maka mereka (malaikat) berkata : mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah)
dimuka bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan akan menumpahkan
darah, padahal kami senantiasa bertasbih memuji-Mu ?” Tuhan berfirman :
Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”
Dalam
dialog ini memperlihatkan bahwa Allah akan menunjukkan keunggulan manusia
kepada para makhluk lain ciptaan-Nya (para malaikat). Keunggulan itu adalah : Pertama, tidak sebagaimana makhluk –
makhluk yang lain, manusia diberi sesuatu yang menjadikannya unggul, yaitu
kemampuannya untuk mengeja nama – nama benda. Dengan kemampuannya itu, manusia
bisa mengakumulasikan pengalamannya secara sistematis sehingga menjadi ilmu
pengetahuan. Ilmu pengetahuan itulah menjadi dasar pada manusia untuk bisa
mengemban tugasnya sebagai khalifah Allah dimuka bumi. Dalam surat Hud : ayat
61 dikatakan…
“Allah telah menciptakan kamu dari bumi
(tanah) dan menjadikan kamu sebagai pemakmurnya”
dengan
kata lain, tugas manusia dijadikan sebagai penghuni dunia untuk menguasai,
memelihara alam lingkungannya dan mengelolanya bagi kemakmuran manusia itu
sendiri didunia ini.
Keunggulan
sebagaimana disebut para malaikat, yang merasa dirinya lebih unggul dari
manusia, menanyakan kepada Tuhan, yang bernada protes, tentang mengapa Tuhan
menjadikan manusia khalifah dibumi, padahal mereka akan membuat kerusakan dan
menumpahkan darah. Allah lalu mengajarkan ilmu kepada malaikat untuk tunduk
kepada manusia. Mereka melakukannya, kecuali Iblis yang menolak untuk tunduk,
termasuk mengoreksi perintah itu, bahkan kemudia menjerumuskan manusia kedalam
perbuatan untuk melanggar perintah Allah. Akan tetapi, walaupun telah diberi
kemampuan berupa ilmu pengetahuan, ternyata manusia dapat tergelincir kepada
perbuatan yang salah, konflik, sebagian menjadi musuh bagi yang lain. Pada ayat
34 surat al – Baqarah, Iblis disebut sebagai makhluk yang menolak perintah
Allah untuk tunduk kepada manusia (Iblis berasal dari kata balasa, artinya putus asa, yang oleh ahli tafsir Muhammad Ali
diartikan
“keinginan rendah menjauhkan manusia dari
sujud kepada Allah untuk memperoleh Rakhmat-Nya).”
Sementara
itu, pada ayat 36 surat yang sama disebutkan setan (syaitan) yang berasal dari
kata syayathana yang berarti
merenggang atau menjauhi, sehingga istilah itu diartikan sebagai makhluk yang
mengisurh, menghasut atau membujuk manusia agar menuruti keinginan nafsu
rendahnya untuk menyelewengkan manusia dari jalan yang benar. Iblis dan setan
itulah yang menimbulkan konflik dalam kehidupan manusia.
Keunggulan
kedua, dalam surat asy – Syam ayat
7-8, Allah bersumpah untuk menganugerahi dua potensi kepada manusia yaitu
potensi taqwa dan potensi fujur (kufur = buruk ) :
“demi jiwa dan (proses) penyempurnaan
ciptannya (7), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu jalan kefasikan
(keburukan) dan ketaqwaan (kebaikan) (8).”
kandungan
ayat ini menunjukkan, bahwa manusia sesungguhnya bisa dan harus berusaha
mencapai kesempurnaan, memberikan konfirmasi, bahwa manusia itu adalah makhluk
etis. Jiwa (nafs) seorang itu memberinya kemampuan untuk membedakan mana yang
buruk (fujur) dan mana yang baik (taqwa). Lebih lanjut, dalam surat yang sama
ayat 9-10, Allah mempromosikan kepada manusia bahwa :
“sesungguhnya beruntunglah (mencapai
keberhasilan dan kebahagiaan) orang yang menghidupkan (menyucikan) jiwanya, (9)
dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya (dengan keburukan dan
kefasikan) (10).”
Diantara
cara agar manusia tidak rugi ialah dengan membersihkan jiwa dan menumbuhkannya
sehingga berproses menuju ke kesempurnaan sebagai manusia unggul :
“mereka yang beriman dan berbuat kebaikan
(amal saleh), saling memberi nasihat tentang kebenaran (al – haq) dan saling
memberi nasihat agar tetap dalam kesabaran.”(QS. Al – Ashr 103).
b.
Taqwa
Perlu
disadari bahwa, penalaran dengan akal saja tidak cukup, manusia memerlukan yang
lain, yaitu taqwa. sekalipun orang tahu dan bisa membedakan antara yang baik
dengan yang buruk, namun sering kali orang cenderung kepada keburukan, karena
banyak variasi dari sesuatu yang buruk itu kerap kali mengesankan sesuatu yang
menyenangkan.
Dalam
al – Quran, istilah taqwa, adalah pencarian seluruh nilai (baik) dan
penghindaran dari nilai – nilai buruk secara umum disebut oleh al – Quran
sebagai taqwa. Taqwa merupakan kata induk (masdar) dari kata “waqa” yang artinya “menjaga diri”,
maksudnya memelihara atau melindungi atau menjaga diri dari kerugian, kerusakan
dan keburukan lainnya, berhati – hati agar tidak mengerjakan apa saja yang
bersifat keburukan dan kemungkaran, atau kecenderungan yang terdapat pada jiwa
manusia untuk memilih yang benar atau baik. Jadi kalau ada orang yang menyebut
“taqwa” itu maksudnya menjaga diri sendiri jangan sampai melakukan apa saja
yang dilarang oleh Allah, jangan sampai mengerjakan apa pun yang diharamkan
oleh Allah, dan sebaliknya hendaklah dengan segera dan sebanyak mungkin berbuat
kebaikan, melaksanakan semua perintah Allah yang diwajibkan dalam agama Islam.
Seseorang yang bertaqwa, adalah orang yang memiliki kesadaran moral, untuk
menentukan sikap dan tindakan. Kesadaran ini membawa orang pada pilihan yang
bertanggung jawab, sesuatu pilihan yang etis, sebab didasarkan pada
pertimbangan baik – buruk, salah – benar, dan karena itu juga mengandung segi
rasional. Namun disamping rasional, taqwa sebanrnya juga didorong oleh sikap hanief yang terdapat pada manusia,
yaitu kecenderungan kepada kebenaran.
c.
Kemauan
Kemauan
menjadi modal utama berakhlak. Seseorang harus tahu akan kebaikan, kejujuran,
keadilan, dermawan, memiliki disiplin yang tinggi, memiliki etos belajar yang
kuat, ramah, sopan, jujur, dan lain – lain. Namun, apabila tidak ada kemauan
untuk menjalankan apa yang ia ketahui maka ia belum termasuk orang yang baik.
Semua
sependapat bahwa tujuan akhir yang ingin dicapai setiap manusia adalah
kebahagiaan yang tertinggi, jalannya adalah kebaikan. Anggapan tentang baik
buruk ini pun bermacam – macam menurut tafsiran mereka masing – masing, usaha
yang dilakukannya pun berbeda – beda. Namun, bagi umat Islam tidak perlu
menjadi filsuf, karena umat Islam telah memiliki landasan yang jelas dan pasti
yaitu al – Quran dan hadist. Seseorang yang dalam usahanya mencapai tujuan
akhir tidak menyimpang dari garis kebaikan (menurut al – Quran dan Hadist) maka
manusia akan menemukan kebahagiaan tertinggi. Namun, apabila terjadi
penyimpangan dari al – Quran dan Hadist dalam mencapai tujuan akhir maka yang
didapat hanyalah penderitaan, baik yang dirasakan sendiri maupun pihak lan,
baik secara langsung maupun tidak.
Bisnis
yang dibangun berdasarkan kaidah – kaidah al – Quran dan hadist akan
mengantarkan para pelakunya mencapai sukses dunia dan akhirat. Standar etika
Perilaku Bisnis Syariah (PBS) mendidik agar para pelaku bisnisnya dengan : (1)
taqwa, (2) aqshid, (3) khidmad, (4) amanah secara terus menerus.
a.
Taqwa
Sebuah
hadist diriwayatkan dari Umar ra.
“Aku
mendengar Rasulullah saw. Bersabda : Sekiranya
kalian bertawakkal (menyerah) kepada Allah dengan sungguh – sungguh, maka Allah
akan memberikan rezeki pada kalian seperti burung yang keluar dipagi hari
dengan perut kosong (lapar), tetapi kembali disore hari dengan perut kenyang.”
Hadist
ini dengan jelas menerangkan bahwa betapa Allah akan memudahkan rezeki kepada
kita sepanjang kita tetap bertawakkal kepada-Nya dengan sungguh – sungguh.
Seorang
muslim diperintahkan untuk selalu mengingat Allah dalam aktivitas mereka. Ia
hendaknya sadar penuh dan responsif terhadap prioritas – prioritas yang telah
ditentukan oleh Sang Maha Pencipta. Kesadaran akan Allah ini hendaklah menjadi
sebuah kekuatan pemicu (driving force) dalam
segala tindakan. Misalnya datang panggilan shalat, maka segera tinggalkan
pekerjaan, lalu lakukan shalat, demikian juga dengan kewajiban – kewajiban yang
lainnya.
Semua
kegiatan transaksi bisnis hendaklah ditujukan untuk tujuan hidup yang lebih
mulia. Umat Islam diperintahkan untuk mencari kebahagiaan akhirat dengan cara
menggunakan nikmat yang Allah karuniakan kepada manusia dengan jalan yang
sebaik – baiknya didunia ini.
Al
– Quran memerintahkan untuk mencari dan mencapai prioritas – prioritas yang
Allah tentukan bagi manusia.
1. Hendaklah
mereka mendahulukan pencarian pahala yang besar dan abadi diakhirat ketimbang
keuntungan kecil dan terbatas yang ada didunia.
2. Mendahulukan
sesuatu yang secara moral bersih daripada sesuatu yang secara moral kotor,
walaupun misalnya yang disebut terakhir mendatangkan banyak keuntungan yang
lebih besar.
3. Mendahulukan
pekerjaan yang halal daripada yang haram.
Sekalipun
Islam menyatakan bahwasannya berbisnis merupakan pekerjaan halal, pada tataran
yang sama ia mengingatkan secara eksplisit bahwa semua kegiatan bisnis tidak
boleh menghalangi mereka untuk selalu memiliki kesadaran tentang Allah (ingat
Allah, dzikrullah) meskipun ia sedang sibuk mengurusi kekayaan dan anak –
anaknya.
Dalam
hal bisnis, nilai – nilai religius hadir dikala melakukan transaksi bisnis,
selalu mengingat kebesaran Allah, dan karenanya terbebas dari sifat – sifat
kecurangan, kebohongan, kelicikan, dan penipuan dalam melakukan bisnis.
b.
Aqshid
Aqshid,
adalah sederhana, rendah hati, lemah lembut, santun. Dalam banyak ayat Al –
Quran kita temukan perintah untuk tampil simpatik:
“rendah hatilah kamu terhadap orang – orang
yang beriman” (QS. Al – Hijr : 88)
Al
– Quran juga mengajarkan untuk senantiasa rendah hati dan bertutur kata yang
manis :
“janganlah kamu memalingkan mukamu dari
manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan dimuka bumi dengan angkuh.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang – orang yang sombong lagi membagakan
diri. Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu.
Sesungguhnya seburuk – buruk suara ialah suara keledai”(QS. Luqman : 18 –
19)
Berperilaku baik, sopan santun dalam
pergaulan adalah fondasi dasar dan inti dari kebaikan tingkah laku. Sifat ini
sangat dihargai dengan nilai yang tinggi mencakup semua sisi manusia. Allah
memerintahkan orang muslim untuk rendah hati dan lemah lembut :
“maka disebabkan rahmat dari Allah – lah kamu
berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi
berhati kasar, tentulah mereka menghindar – menjauhkan diri dari sekelilingmu…”
(QS. Ali Imran : 159)
Perkataan yang kasar dan ketus tidak
tidak pernah akan menghampirkan orang lain kepada kita, malah akan menjauh dan
bahkan bisa jadi mendoakan agar kita celaka.
Perilaku sopan dalam berbisnis
dengan siapa pun tetap harus diterapkan, berbicara dengan ucapan dan ungkapan
yang baik walaupun dengan orang yang berpakaian compang – camping dan hitam
legam sekalipun. Pebisnis muslim diharuskan untuk berlaku manis dan dermawan terhadap
orang – orang yang miskin, dan karena alasan tertentu ia tidak mampu memberikan
sesuatu kepada mereka, setidak – tidaknya perlakukanlah mereka dengan sopan dan
kata – kata yang baik.
c.
Khidmad
Khidmad
artinya melayani dengan baik. Sikap melayani merupakan sikap utama dari
pebisnis, tanpa sikap melayani jangan menjadi pebisnis, dan bagian penting dari
sikap melayani ini adalah sopan – santun, dan rendah hati. Orang yang beriman
diperintahkan untuk bermurah hati, sopan dan bersahabat dengan mitra bisnisnya.
Rasulullah
bersabda bahwa salah satu ciri orang beriman adalah mudah bersahabat dengan
orang lain, dan orang lain pun mudah bersahabat dengannya. Tidak hanya sekedar
santun dan lemah lembut dalam melayani tetapi juga mengembangkan sikap
toleransi (tasamuh).
Dalam
kehidupan sehari – hari baik itu dalam transaksi maupun pinjam – meminjam
bentuk toleransi ini adalah kesediaan untuk memperpanjang rentang waktu
sehingga memudahkan orang lain bukan menyengsarakan orang lain, misalnya saja
pada saat seharusnya pelanggan harus membayar utang, cicilan kredit, dan
sebagainya karena sudah jatuh tempo, tetapi karena dia sedang kesulitan,
berdasarkan Al – Quran dan hadist yang bisa dilakukan adalah :
a)”jika (orang berutang
itu ) dalam kesukaran, berilah tangguh sampai dia mampu, atau b) menyedekahkan
utang itu sebagian atau semuanya itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui” (QS.
Al – Baqarah : 280)
Sepanjang menyedekahkan atau
memutihkan atau membebaskan itu karena mencari ridha Allah, Rasulullah SAW
mempromosikan kepada manusia sebagai berikut :
1. Barang
siapa yang menolong orang mukmin yang sedang mengalami kesulitan untuk membayar
utang atau tidak memintanya sama sekali, Allah akan menolong kesulitannya
dihari akhirat (HR. Muslim).
2. Barang
siapa membebaskan seorang mukmin dari kesusahannya atau menolong orang
teraniaya, Allah SWT memberikan kepadanya 73 ampunan.
d.
Amanah
Islam
menginginkan agar pebisnis mempunyai hati yang “hidup” sehingga bisa menjaga hak Allah, hak orang lain dan haknya
sendiri, dapat memproteksi perilaku yang merusak amanah yang diberikan
kepadanya, mampu menjaga dan mempertanggungjawabkannya dihadapan Allah,
sebaliknya bagi manusia mengkhianati amanah, maka Allah menyebutnya sebagai manusia yang amat zhalim dan amanat bodoh (QS.
Al – Azhab : 72). Sifat amanah harus dimiliki oleh pebisnis muslim, sebab tidak
hanya untuk kepentingan muamalah semata tetapi berkaitan dengan status iman
seseorang sebagaimana Rasulullah SAW mengingatkan :
“tidak sempurna iman seseorang yang tidak
mempunyai sifat amanah, dan juga tidak sempurna keIslaman seseorang yang tidak
mempunyai komitmen” (HR. Ahmad).
Sebagai pebisnis muda Rasulullah SAW dikenal sebagai Mr. Clean = jujur dan terpercaya karena sifat amanah. Sifat
amanah seharusnya menghiasi seseorang muslim dalam setiap gerak langkah dan
perilaku bisnisnya. Sifat jujur terkadang dianggap mudah untuk dilaksanakan
manakala tidak dihadapkan pada ujian atau tidak dihadapkan pada godaan duniawi,
tetapi kejujuran yang sejati sebagaimana kata amiinu = dapat dipercaya, akan menimbulkan kepercayaan bagi semua
orang dan tidak jarang investor memberikan modal tanpa jaminan dengan sistem
bagi hasil setidaknya itulah yang dialami oleh Rasulullah saw sebelum menjadi
nabi memperoleh tawaran dari Siti Khadijah konglongmerat Arab saat itu. Itulah
juga sebabnya mengapa Musa sebelum menjadi nabi ditawari pekerjaan oleh Nabi
Syu’aib karena mampu menjaga diri dari godaan hawa nafsu duniawi.
Ketika amanah telah menjadi denyut
nadi seseorang, ia akan mampu menjaga hak Allah, hak manusia dan memelihara
dirinya dari kehinaan. Bagi pebisnis muslim yang amanah akan mematuhi perintah
Allah. Mereka memenuhi takaran dan timbangan (neraca) karena ketaatannya karena
Allah.
Demikian
juga ketakutannya berdiri di hadapan Allah untuk mempertanggungjawabkan
perilaku bisnisnya. Jika ingin mengetahui sejauh mana tingkat kejujuran
seseorang, ajaklah kerjasama dalam bisnis, disana akan kelihatan sifat – sifat
aslinya. Kejujuran yang hakiki itu terletak pada muamalah mereka, tetapi godaan
untuk memperoleh laba dapat membuat terlena, menghalalkan segala cara, karena
itulah Rasulullah saw wanti – wanti agar umatnya yang menekuni profesi bisnis
tidak celaka. [13]
BAB III
PENUTUP
1. Etika bisnis syariah adalah merupakan hal
yang penting dalam perjalanan sebuah aktivitas bisnis profesional. Prinsip
ekonomi, menurut para pebisnis dan para konglongmerat adalah untuk mencari
keuntungan sebesar – besarnya tanpa menggunakan etika bisnis yang ada. Panduan
Rasulullah dalam etika bisnis yang perlu diperhatikan dalam berbisnis :
a. Prinsip essensial dalam bisnis adalah
kejujuran
b. Kesadaran tentang signifikasi sosial
kegiatan bisnis
c. Tidak melakukan sumpah palsu
d. Ramah – tamah
Tidak boleh berpura – pura menawar dengan
harga tinggi, agar orang lain tertarik membeli dengan harga tersebut.
Islam menawarkan keterpaduan agama,
ekonomi, dan sosial demi membentuk kesatuan. Atas dasar pandangan ini pula maka
etika dan bisnis menjadi terpadu, vertikal maupun horisontal, membentuk suatu
persamaan yang sangat penting dalam sistem lsIam. Realitasnya, para pelaku
bisnis sering tidak mengindahkan etika. Para pelaku bisnis yang sukses memegang
prinsip – prinsip bisnis yang tidak bermoral.
2. Secara normatif, etika bisnis dalam Al –
Quran memperlihatkan adanya suatu struktur yang berdiri sendiri dan terpisah
dari struktur lainnya. Hal itu disebabkan bahwa dalam ilmu akhlak (moral),
struktur etika dalam Al – Quran lebih banyak menjelaskan nilai – nilai kebaikan
dan kebenaran baik pada tataran niat atau ide hingga perilaku dan perangai.
Dengan demikian, etika bisnis dalam Al – Quran tidak hanya dipandang dari aspek
etika secara persial, tetapi juga secara keseluruhan yang memuat kaidah –
kaidah yang berlaku umum dalam agama Islam. Artinya, bahwa etika bisnis menurut
hukum Islam harus dibangun dan dilandasi oleh prinsip – prinsip kesatuan,
keseimbangan/keadilan, kehendak bebas/ikhtiar, pertanggungjawaban dan
kebenaran, kebajikan dan kejujuran. Kemudian, harus memberikan tuntutan visi
bisnis masa depan yang bukan semata – mata untuk mencari keuntungan yang
sifatnya hanya “sesaat”, melainkan mencari keuntungan yang mengandung hakikat “baik”
yang berakibat atau berdampak baik pula bagi semua umat manusia.
3. Untuk dapat mewujudkan etika bisnis dalam
membangun tatanan bisnis Islami yaitu :
a. Bisnis baik sebagai aktivitas individual,
organisasi atau perusahaan, bukan semata – mata bersifat duniawi. Akan tetapi
sebagai aktivitas yang bersifat material sekaligus immaterial. Suatu bisnis
bernilai apabila memenuhi kebutuhan material dan spiritual secara seimbang,
tidak mengandung kebatilan, kerusakan dan kezhaliman tetapi mengandung nilai
kesatuan, kebajikan dan kejujuran.
b. Diperlukan suatu cara pandang baru dalam
melakukan kajian – kajian keilmuan tentang bisnis dan ekonomi yang lebih
berpijak pada paradigma pendekatan normatif etik sekaligus empirik induktif
yang memprioritaskan penggalian dan pengembangan nilai – nilai Al – Quran, agar
dapat mengatasi perubahan dan pergeseran zaman yang terus berlangsung.
4. Etika secara terminologis etika merupakan sebuah studi sistematis yang
membahas tentang konsep nilai, baik, buruk, harus, benar, salah, prinsip –
prinsip umum yang membenarkan kita untuk mengaplikasikannnya atas apa saja,
juga bisa disebut juga sebagai filsafat moral. Ini artinya etika merupakan
dasar moralitas seseorang dalam melakukan hal apapun. Ia akan disebut sebagai
orang yang baik manakala etika yang digunakan baik, sebaliknya jika ia
melakukan suatu hal yang buruk, jelek, salah maka ia akan disebut sebagai orang
yang tidak mempunyai moral. Karena pada prinsipnya moralitas seseorang
merupakan kunci untuk melakukan tindakan yang sifatnya baik.
DAFTAR PUSTAKA
Beekum, Rafik Issa. 2004. Etika Bisnis Islami. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Ismanto, Kuat. 2009. Manajemen Syari’ah Implementasi TQM dalam
Lembaga Keuangan Syariah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rivai, Veithzal. dkk., 2012. Islamic Business and economic
ethics Mengacu pada Al-Qur’an dan Mengikuti Jejak Rasulullah SAW. dalam
Bisnis, Keuangan, dan Ekonomi. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Hasan, Ali. 2009. Manajemen Bisnis Syariah. Yogyakarta :
PUSTAKA PELAJAR
[1] Kuat Ismanto, Manajemen
Syari’ah Implementasi TQM dalam Lembaga Keuangan Syariah, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2009), hal. 37
[2] Veithzal
Rivai,dkk., Islamic Business and economic ethics Mengacu pada
Al-Qur’an dan Mengikuti Jejak Rasulullah SAW. dalam Bisnis, Keuangan, dan
Ekonomi, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2012), hal. 2
[3] Rafik Issa
Beekum, Etika Bisnis Islami, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hal. 3
[5] Ibid.
[6] Rafik Issa
Beekum, Op. Cit., hal. 3
[7] Kuat Ismanto, Op.
Cit., hal. 38
[8] Rafik Issa
Beekum, Op. Cit., hal. 3
[9] Veithzal
Rivai, dkk.,Op. Cit., hal. 4
[10] Veithal Rivai,
Amiur Nurudin, ISLAMIC BUSINESS AND
ECONOMIC ETHICS,(Jakarta: PT BUmi Aksara, 2012),hal.16
[11] Veithal Rivai, Amiur Nurudin, ISLAMIC
BUSINESS AND ECONOMIC ETHICS,(Jakarta: PT BUmi Aksara, 2012),hlm.18
[12] Veithal Rivai,
Amiur Nurudin, ISLAMIC BUSINESS AND
ECONOMIC ETHICS,(Jakarta: PT BUmi Aksara, 2012),hal.23
[13] Ali Hasan, Manajemen
Bisnis Syariah, (Yogyakarta : PUSTAKA PELAJAR, 2009), hal. 176- 189