Jumat, 03 Februari 2017

Setengah Sadar






Cuaca siang ini cukup memeras keringat. Bahkan, kipas angin pun tak sanggup mengalahkan panasnya bumi yang memenuhi ruangan. Ruang yang bisa dikatakan sesak. Bagaimana tidak, setiap sudut dipenuhi dengan lemari, tempat menyimpan berkas-berkas arsip kegiatan. Rak buku, meja yang diatasnya berserakan lembaran putih, komputer dan printout. Oh, menambah panas mata memandang. Ditambah pula dengan panasnya atmosfer.

Aku tengok ponsel ku yang kuletakkan di atas laci meja. Low bateray, itulah peringatan  singkat pertama kali aku membuka ponsel ku. Ku ambil tas yang kuletakkan di atas rak buku. Ku rogoh tas untuk mencari carger. Naasnya, aku lupa membawanya. Kebiasaan untuk sekian kalinya. Pagi ini aku terburu-buru berangkat ke kampus. Saking buru-burunya sampai lupa aku membawa barang sepenting itu.

Kutolehkan pandanganku yang sedang asyik memainkan ponselnya. Ku lihat ia sedang asyik chating entah dengan siapa, aku pun tak ingin terlalu mau tahu. Niat ku hanya ingin meminjam carger untuk menyelamatkan ponsel ku. yang ku tahu dia selalu bawa carger kemanapun. ”gue pinjem carger hape lo dong” menengadahkan tangan didepannya berharap barang yang aku butuhkan. “ya ampun, udah dipinjem” sambil menunjuk carger nya yang tertancap di stopkontak.

Aku mendengus menoleh ke arah luar. Mau pulang ke kos masih malas, udara masih panas. Cuaca hari ini cukup memanggang tubuh mungil ku, lain seperti kemarin kerap kali bumi diguyur hujan. Kalau tidak pulang, ponsel ku tidak bisa diselamatkan. Tangan ku menopang kepala ku yang tak sanggup aku harus ngapain.

Tiba-tiba sosok laki-laki tinggi kurus, rambut panjang sebatas leher, memakai tas slempang dibahunya, memakai kaos berwarna abu-abu memakai jam tangan ditangan kirinya. Batinku mengatakan dia seperti orang cina. Sosok itu pernah ku temui sebelumnya, dan akupun tak asing dengannya. Terbesit dalam hatiku apakah ia masih ingat padaku. Kalaupun tidak, semoga dia bisa meminjamkan apa yang aku butuhkan. Sosok itu lewat didepan. Entah, apa yang aku pikirkan. Ku beranjak dari tempat dudukku. Aku panggil dia  yang telah lebih dari 10 langkah didepan ku. Ia pun berhenti, dan menoleh kearah ku. Ku hampiri dia ”kakak, bawa carger, boleh aku pinjam” menengadahkan tangan serupa yang aku lakukan ketika meminjam tadi. “iya bawa, aku ada kelas hari ini. Bawa saja ya” merogoh tas menyerahkan carger nya kepada ku. “aku masuk dulu” ujarnya sekali lagi melangkah menuju kelas.

Tak pikir panjang aku masuk lagi, meraih ponselku yang hampir tiada tanda-tanda kehidupan. Ku tancapkan carger ke stopkontak yang masih tersisa. Setelah kanan- kirinya dipakai Melinda dan Saiful. Tiba-tiba ia bergumam “lho, itu ada carger

“iya, tadi pinjam kakak Cina tadi” ucap ku tanpa ku sadari aku memanggilnya dengan kakak Cina. Sontak pula ia bingung dengan ucapanku tadi.
“Haa, kakak Cina itu siapa? kenal darimana pula?” mengalihkan duduknya tapat dihadapanku penasaran akan sosok lelaki yang kupinjam carger ponsel tadi. Cukup lekat ia menatapku meletakkan tangan kirinya diatas meja dan tangan kiri menopang dagu.
“entahlah, mel, aku tak tahu namanya, yang ku tahu dia seperti orang Cina” pikirku menjawab pertanyaan Melinda yang seakan penasaran akan sosok itu. Aku mengenal sosok itu ketika ada kegiatan di kampus. Kala itu, dia sebagai moderator acara tersebut.

Acaranya, cukup sederhana. Disebelah kanan pintu masuk ada meja tempat para undangan dan peserta seminar mengisi daftar hadir juga nomor HP. Tamu undangan dan lainnya yang datang tidak duduk diatas kursi. Tapi duduk beralaskan karpet berwarna hijau tua yang tak lagi bisa dikatakan sempurna warnanya. Didepan disajikan makanan ringan seperti kue dan secangkir kopi, dan tidak ketinggalan lagi sesuatu yang ku benci tetapi memiliki peminat yang banyak. Aku merasa kurang nyaman dengan sesuatu itu. Tapi ku coba biasa dihadapan orang padahal dalam hati mengumpat “andai aku seorang yang berkuasa didunia ini, akan aku hapus barang perusak dalam kehidupan. Agar orang lain bisa menjaga jantung dan hatinya”. Ruangan yang cukup luas, berukuran seperti ruang aula kampus pada umumnya. Kanan–kiri terdapat jendela dengan tralis yang cukup termakan usia. Banyak sudah yang berkarat, sebagian masih seperti warna aslinya.  Pintu terletak disebelah kiri ruangan.

Acara dimulai lebih sejam dari rencana awal yang ku lihat pada pamflet yang ditempel didepan Radio kampus. Peserta yang datang pun, cukup merasa kecewa. Namun, dicairkan suasana dengan permainan unik yang menurutku terasa konyol. Permainan itu tercnyata menghibur para undangan yang setadi pagi sudah memenuhi ruangan. Aku tak terlalu memperhatikan dan mengikuti permainan dari sang pemain. Pandanganku jatuh pada pemandu permainan itu, ialah sosok kakak Cina itu. Entahlah, apa yang aku pikirkan unik saja. Aku mulai mengkhayal tentang sosok kakak Cina itu. Itulah, kebiasaan ku mengkhayal yang bagiku terlihat unik. Andai saja kakak Cina itu memakai celana hitam berbahan kain dan memakai baju koko putih terlihat sangat tampan sepertinya. Didukung pula dengan kulit putihnya seperti orang Cina dan rambut panjang sebatas leher yang lurus layaknya seorang anak perempuan. Posturnya yang tinggi kurus. Sempurna pula aku mengkhyalanya. Sontak kaget melihat tepuk tangan dari para penonton yang merasa terhibur oleh permainan itu menghilangkan angan pandangku pada kakak Cina itu. Aku pun ikut bertepuk tangan, mengikut saja. Padahal sedari tadi permainan itu dimulai aku tak terlalu memperdulikan.Tak sadar apalah yang kupikirkan ini. Ada-ada saja. Semoga dia tidak memperhatikan lamunan ku tadi atasnya. Oh, apa yang akan terjadi. Menggaruk-garuk leher yang sebenarnya tidak gatal.

Setelah cukup mengobati kekesalan peserta karena menunggu terlalu lama. Acara sesungguhnya dimulai. Sekian waktu berjalan, pandanganku terbagi dua menatap fokus dilayar putih disorotkan cahaya yang berasal LCD proyektor berisikan materi tentang Filsafat zaman Yunani Kuno pemikiran para filosof alam salah satunya Anaxagoras yang hidup pada tahun (500-428 SM). Aku jadi teringat tulisan yang tidak begitu panjang namun memiliki makna yang cukup membuat logika bermain “sesuatu dari Segala Sesuatu dalam Segala Sesuatu”  Sesekali ku pandangi kakak Cina itu. Oh, aku terlalu keppo batinku.

Aku tepat duduk didepannya. Dia Melenggak secangkir kopi, tak cukup lama ia membakar ujung barang perusak itu. Aku cukup sontak. Kenapa dia juga sama seperti yang lain, pikirku. Apalah yang aku pikirkan ini. Terserah dia melakukan atau tidak bukan hak ku. Sesekali pula tanpa sengaja mata kita saling memandang, tak lama ku arah kan pandangku mengikuti materi berjalan. Hal yang sama aku lakukan,  Menggaruk-garuk leher yang sebenarnya tidak gatal.

Acara itu selesai pukul 12.00 siang. Hari ini cukup melelahkan mengikuti materi yang cukup membuat akal ku lelah. Mencoba berfikir filsafat. Oh, sungguh logika tidak kuat. Bagaimana bisa, alam diciptakan dari partikel-partikel sangat kecil yang tak dapat dilihat mata dan jumlahnya tak terhingga. Lebih jauh lagi, segala sesuatu dapat dibagi menjadi bagian-bagian yang jauh lebih kecil lagi, tetapi bahkan dalam bagian yang paling kecil masih ada pecahan-pecahan dari semua yang lain. Namun, menantang untuk dipelajari. Kurapihkan buku catatanku yang kugunakan untuk mencatat materi Filsafat tadi. Kumasukan ke tas hijau bermotif bunga-bunga. Ku slempangkan tas kebahu kanan ku. Ku berdiri menuju pintu. Menoleh kekanan dan kiri mencari sepatu biru ku. Melangkah keluar. Seperti mendapat udara segar. Tubuh mungil ini diterpa surganya kehidupan.

“diacara itu aku mengenalnya” setelah mendongak keatas mencoba mengingat kejadian tempo hari pertama kali ia mengenal sosok itu.
“apakah dia tidak memperkenalkan namanya, sampai-sampai kau tak tahu”
Aku menggelengkan kepala
“apa kau tidak mendengarkan ketika ia memperkenalkan nama”
Aku tetap menggelengkan kepala

Ia mendengus bingung. Menekuk dan menengadahkan kedua tangan sembari mengangkat bahu mengisyaratkan tidak tahu mau bertanya apa lagi. Ku dengar ponsel ku berbunyi, ada pesan masuk. Ku raih ponsel yang kuletakkan diatas laci meja. Ku goreskan jempolku untuk membuka ponsel yang kukunci. Nomor yang tidak ku kenal “carger nya kamu bawa dulu ya, tolong dijaga” sontak aku berpikir apakah ini kakak Cina tadi, itu pasti dia. Tapi, darimana dia tahu nama dan nomorku, pikirku.

Setelah selesai menunaikan kewajiban pada sang khalik. Ku rebahkan tubuh mungil ini diatas kasur. Sungguh nyaman. Kamar yang tidak terlalu besar, berisikan tiga orang. Dengan dinding bercat kuning. Lemari baju yang terletak disebelah kanan pintu. Dinding –dinding yang dipenuhi catelan baju. Biasalah anak kos. Apalagi cewek, satu hari bisa habis 3 baju. Gonta-ganti setiap pergi ke kampus.

Ku coba menenggelamkan mata ku ke alam bawah sadarku. Belum lama. Ponsel ku berdering. Kurogoh tas, mengambil ponsel. Pesan dari kakak Cina itu. Ingin ku tanyakan dari mana dia tahu nama dan nomor ponsel ku. Selama ini, kita belum pernah saling kenal, bicara sekali pun tidak. Tapi, ku hapus pertanyaan itu. Percakapan kami dimulai dengan bercanda tentang masalah pertemuan di acara itu. Aku merasa ada yang berbeda di hatiku. Dia mengatakan sesuatu yang cukup membuat aku malu. harus berkata apa.

“apa yang kau lihat dariku selama acara itu” tanya dia kepada ku menggigit kuku jempol tangan bingung harus berkata apa. Ternyata dia memperhatikan ku tanpa ku sadari saat melamun mengkhayal dirinya. “katakanlah, tak apa. tatapanmu tidak fokus pada permainan yang ku pandu. Tapi, tatapanmu tertuju fokus pada ku. Pada saat itu. Kau pada posisi didepan?” tanya dia lagi. Masih tetap hanya ku baca belum sempat aku bisa membalas.

Keesokan harinya, kuraih ponsel ku, ku kirimkan pesan untuk kakak Cina itu” kakak dimana, aku kembalikan carger”. Sambil menunggu balasan dari kakak Cina itu, kurapihkan jilbab dan penampilanku. Sebelum berangkat kekampus. Ponsel berdering, pesan balasan darinya”aku didepan tempat dimana kamu panggil aku” kuraih tas dan berangkat.

15 menit kusampai ditempat dimana aku memanggil dia untuk pertama kali.”terimaksih carger nya” seraya ku berikan carger miliknya. “sama-sama” tersenyum menatapku. Cukup lama kita berdiri didepan kelas anak ekonomi. Menghela nafas panjang.

“soal semalam, maaf aku belum balas, buat kamu menunggu”
“iya buat aku meunggu balasan dari kamu ”

Perasaan apa ini. Kenapa dia harus berkata seperti itu. Perbincangan kami berlanjut sambil berjalan menelusuri lorong fakultas ekonomi. Canda tawa mengiri obrolan kami. Membuat aku melupakan pertanyaan penasaranku bagaimana dia tahu nama dan nomor ponselku. Terpenting sekarang, entah darimana dia tahu. Berarti dia mencoba mencari tahu tentang aku, misterius, pikirku.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar