Setengah
Sadar
Cuaca siang ini cukup
memeras keringat. Bahkan, kipas angin pun tak sanggup mengalahkan panasnya bumi
yang memenuhi ruangan. Ruang yang bisa dikatakan sesak. Bagaimana tidak, setiap
sudut dipenuhi dengan lemari, tempat menyimpan berkas-berkas arsip kegiatan.
Rak buku, meja yang diatasnya berserakan lembaran putih, komputer dan printout. Oh, menambah panas mata
memandang. Ditambah pula dengan panasnya atmosfer.
Aku tengok ponsel ku
yang kuletakkan di atas laci meja. Low
bateray, itulah peringatan singkat
pertama kali aku membuka ponsel ku. Ku ambil tas yang kuletakkan di atas rak
buku. Ku rogoh tas untuk mencari carger. Naasnya,
aku lupa membawanya. Kebiasaan untuk
sekian kalinya. Pagi ini aku terburu-buru berangkat ke kampus. Saking
buru-burunya sampai lupa aku membawa barang sepenting itu.
Kutolehkan pandanganku yang
sedang asyik memainkan ponselnya. Ku lihat ia sedang asyik chating entah dengan siapa, aku pun tak ingin terlalu mau tahu.
Niat ku hanya ingin meminjam carger untuk
menyelamatkan ponsel ku. yang ku tahu dia selalu bawa carger kemanapun. ”gue pinjem carger
hape lo dong” menengadahkan
tangan didepannya berharap barang yang aku butuhkan. “ya ampun, udah dipinjem” sambil menunjuk carger nya yang tertancap di stopkontak.
Aku mendengus menoleh
ke arah luar. Mau pulang ke kos masih malas, udara masih panas. Cuaca hari ini cukup
memanggang tubuh mungil ku, lain seperti kemarin kerap kali bumi diguyur hujan.
Kalau tidak pulang, ponsel ku tidak bisa diselamatkan. Tangan ku menopang
kepala ku yang tak sanggup aku harus ngapain.
Tiba-tiba sosok
laki-laki tinggi kurus, rambut panjang sebatas leher, memakai tas slempang
dibahunya, memakai kaos berwarna abu-abu memakai jam tangan ditangan kirinya.
Batinku mengatakan dia seperti orang cina. Sosok itu pernah ku temui
sebelumnya, dan akupun tak asing dengannya. Terbesit dalam hatiku apakah ia
masih ingat padaku. Kalaupun tidak, semoga dia bisa meminjamkan apa yang aku
butuhkan. Sosok itu lewat didepan. Entah, apa yang aku pikirkan. Ku beranjak
dari tempat dudukku. Aku panggil dia
yang telah lebih dari 10 langkah didepan ku. Ia pun berhenti, dan
menoleh kearah ku. Ku hampiri dia ”kakak, bawa carger, boleh aku pinjam” menengadahkan tangan serupa yang aku
lakukan ketika meminjam tadi. “iya bawa, aku ada kelas hari ini. Bawa saja ya”
merogoh tas menyerahkan carger nya
kepada ku. “aku masuk dulu” ujarnya sekali lagi melangkah menuju kelas.
Tak pikir panjang aku
masuk lagi, meraih ponselku yang hampir tiada tanda-tanda kehidupan. Ku
tancapkan carger ke stopkontak yang
masih tersisa. Setelah kanan- kirinya dipakai Melinda dan Saiful. Tiba-tiba ia bergumam
“lho, itu ada carger”
“iya, tadi pinjam kakak
Cina tadi” ucap ku tanpa ku sadari aku memanggilnya dengan kakak Cina. Sontak
pula ia bingung dengan ucapanku tadi.
“Haa, kakak Cina itu
siapa? kenal darimana pula?” mengalihkan duduknya tapat dihadapanku penasaran
akan sosok lelaki yang kupinjam carger ponsel
tadi. Cukup lekat ia menatapku meletakkan tangan kirinya diatas meja dan tangan
kiri menopang dagu.
“entahlah, mel, aku tak
tahu namanya, yang ku tahu dia seperti orang Cina” pikirku menjawab pertanyaan
Melinda yang seakan penasaran akan sosok itu. Aku mengenal sosok itu ketika ada
kegiatan di kampus. Kala itu, dia sebagai moderator acara tersebut.
Acaranya, cukup
sederhana. Disebelah kanan pintu masuk ada meja tempat para undangan dan
peserta seminar mengisi daftar hadir juga nomor HP. Tamu undangan dan lainnya yang
datang tidak duduk diatas kursi. Tapi duduk beralaskan karpet berwarna hijau
tua yang tak lagi bisa dikatakan sempurna warnanya. Didepan disajikan makanan
ringan seperti kue dan secangkir kopi, dan tidak ketinggalan lagi sesuatu yang
ku benci tetapi memiliki peminat yang banyak. Aku merasa kurang nyaman dengan
sesuatu itu. Tapi ku coba biasa dihadapan orang padahal dalam hati mengumpat “andai
aku seorang yang berkuasa didunia ini, akan aku hapus barang perusak dalam
kehidupan. Agar orang lain bisa menjaga jantung dan hatinya”. Ruangan yang
cukup luas, berukuran seperti ruang aula kampus pada umumnya. Kanan–kiri
terdapat jendela dengan tralis yang cukup termakan usia. Banyak sudah yang
berkarat, sebagian masih seperti warna aslinya. Pintu terletak disebelah kiri ruangan.
Acara dimulai lebih
sejam dari rencana awal yang ku lihat pada pamflet yang ditempel didepan Radio
kampus. Peserta yang datang pun, cukup merasa kecewa. Namun, dicairkan suasana dengan
permainan unik yang menurutku terasa konyol. Permainan itu tercnyata menghibur
para undangan yang setadi pagi sudah memenuhi ruangan. Aku tak terlalu memperhatikan
dan mengikuti permainan dari sang pemain. Pandanganku jatuh pada pemandu permainan
itu, ialah sosok kakak Cina itu. Entahlah, apa yang aku pikirkan unik saja. Aku
mulai mengkhayal tentang sosok kakak Cina itu. Itulah, kebiasaan ku mengkhayal
yang bagiku terlihat unik. Andai saja kakak Cina itu memakai celana hitam
berbahan kain dan memakai baju koko putih terlihat sangat tampan sepertinya.
Didukung pula dengan kulit putihnya seperti orang Cina dan rambut panjang
sebatas leher yang lurus layaknya seorang anak perempuan. Posturnya yang tinggi
kurus. Sempurna pula aku mengkhyalanya. Sontak kaget melihat tepuk tangan dari
para penonton yang merasa terhibur oleh permainan itu menghilangkan angan
pandangku pada kakak Cina itu. Aku pun ikut bertepuk tangan, mengikut saja.
Padahal sedari tadi permainan itu dimulai aku tak terlalu memperdulikan.Tak
sadar apalah yang kupikirkan ini. Ada-ada saja. Semoga dia tidak memperhatikan
lamunan ku tadi atasnya. Oh, apa yang akan terjadi. Menggaruk-garuk leher yang
sebenarnya tidak gatal.
Setelah cukup mengobati
kekesalan peserta karena menunggu terlalu lama. Acara sesungguhnya dimulai.
Sekian waktu berjalan, pandanganku terbagi dua menatap fokus dilayar putih
disorotkan cahaya yang berasal LCD proyektor berisikan materi tentang Filsafat zaman
Yunani Kuno pemikiran para filosof alam salah satunya Anaxagoras yang hidup
pada tahun (500-428 SM). Aku jadi teringat tulisan yang tidak begitu panjang
namun memiliki makna yang cukup membuat logika bermain “sesuatu dari Segala Sesuatu
dalam Segala Sesuatu” Sesekali ku
pandangi kakak Cina itu. Oh, aku terlalu keppo batinku.
Aku tepat duduk
didepannya. Dia Melenggak secangkir kopi, tak cukup lama ia membakar ujung
barang perusak itu. Aku cukup sontak. Kenapa dia juga sama seperti yang lain,
pikirku. Apalah yang aku pikirkan ini. Terserah dia melakukan atau tidak bukan
hak ku. Sesekali pula tanpa sengaja mata kita saling memandang, tak lama ku
arah kan pandangku mengikuti materi berjalan. Hal yang sama aku lakukan, Menggaruk-garuk leher yang sebenarnya tidak
gatal.
Acara itu selesai pukul
12.00 siang. Hari ini cukup melelahkan mengikuti materi yang cukup membuat akal
ku lelah. Mencoba berfikir filsafat. Oh, sungguh logika tidak kuat. Bagaimana
bisa, alam diciptakan dari partikel-partikel sangat kecil yang tak dapat dilihat
mata dan jumlahnya tak terhingga. Lebih jauh lagi, segala sesuatu dapat dibagi
menjadi bagian-bagian yang jauh lebih kecil lagi, tetapi bahkan dalam bagian
yang paling kecil masih ada pecahan-pecahan dari semua yang lain. Namun,
menantang untuk dipelajari. Kurapihkan buku catatanku yang kugunakan untuk
mencatat materi Filsafat tadi. Kumasukan ke tas hijau bermotif bunga-bunga. Ku
slempangkan tas kebahu kanan ku. Ku berdiri menuju pintu. Menoleh kekanan dan
kiri mencari sepatu biru ku. Melangkah keluar. Seperti mendapat udara segar.
Tubuh mungil ini diterpa surganya kehidupan.
“diacara itu aku
mengenalnya” setelah mendongak keatas mencoba mengingat kejadian tempo hari
pertama kali ia mengenal sosok itu.
“apakah dia tidak
memperkenalkan namanya, sampai-sampai kau tak tahu”
Aku menggelengkan
kepala
“apa kau tidak
mendengarkan ketika ia memperkenalkan nama”
Aku tetap menggelengkan
kepala
Ia mendengus bingung. Menekuk
dan menengadahkan kedua tangan sembari mengangkat bahu mengisyaratkan tidak
tahu mau bertanya apa lagi. Ku dengar ponsel ku berbunyi, ada pesan masuk. Ku
raih ponsel yang kuletakkan diatas laci meja. Ku goreskan jempolku untuk
membuka ponsel yang kukunci. Nomor yang tidak ku kenal “carger nya kamu bawa dulu ya, tolong dijaga” sontak aku berpikir
apakah ini kakak Cina tadi, itu pasti dia. Tapi, darimana dia tahu nama dan
nomorku, pikirku.
Setelah selesai
menunaikan kewajiban pada sang khalik. Ku rebahkan tubuh mungil ini diatas
kasur. Sungguh nyaman. Kamar yang tidak terlalu besar, berisikan tiga orang.
Dengan dinding bercat kuning. Lemari baju yang terletak disebelah kanan pintu.
Dinding –dinding yang dipenuhi catelan baju. Biasalah anak kos. Apalagi cewek,
satu hari bisa habis 3 baju. Gonta-ganti setiap pergi ke kampus.
Ku coba menenggelamkan
mata ku ke alam bawah sadarku. Belum lama. Ponsel ku berdering. Kurogoh tas,
mengambil ponsel. Pesan dari kakak Cina itu. Ingin ku tanyakan dari mana dia tahu
nama dan nomor ponsel ku. Selama ini, kita belum pernah saling kenal, bicara
sekali pun tidak. Tapi, ku hapus pertanyaan itu. Percakapan kami dimulai dengan
bercanda tentang masalah pertemuan di acara itu. Aku merasa ada yang berbeda di
hatiku. Dia mengatakan sesuatu yang cukup membuat aku malu. harus berkata apa.
“apa yang kau lihat dariku
selama acara itu” tanya dia kepada ku menggigit kuku jempol tangan bingung
harus berkata apa. Ternyata dia memperhatikan ku tanpa ku sadari saat melamun
mengkhayal dirinya. “katakanlah, tak apa. tatapanmu tidak fokus pada permainan
yang ku pandu. Tapi, tatapanmu tertuju fokus pada ku. Pada saat itu. Kau pada
posisi didepan?” tanya dia lagi. Masih tetap hanya ku baca belum sempat aku
bisa membalas.
Keesokan harinya,
kuraih ponsel ku, ku kirimkan pesan untuk kakak Cina itu” kakak dimana, aku
kembalikan carger”. Sambil menunggu
balasan dari kakak Cina itu, kurapihkan jilbab dan penampilanku. Sebelum
berangkat kekampus. Ponsel berdering, pesan balasan darinya”aku didepan tempat
dimana kamu panggil aku” kuraih tas dan berangkat.
15 menit kusampai
ditempat dimana aku memanggil dia untuk pertama kali.”terimaksih carger nya” seraya ku berikan carger miliknya. “sama-sama” tersenyum
menatapku. Cukup lama kita berdiri didepan kelas anak ekonomi. Menghela nafas
panjang.
“soal semalam, maaf aku
belum balas, buat kamu menunggu”
“iya buat aku meunggu
balasan dari kamu ”
Perasaan apa ini.
Kenapa dia harus berkata seperti itu. Perbincangan kami berlanjut sambil
berjalan menelusuri lorong fakultas ekonomi. Canda tawa mengiri obrolan kami.
Membuat aku melupakan pertanyaan penasaranku bagaimana dia tahu nama dan nomor
ponselku. Terpenting sekarang, entah darimana dia tahu. Berarti dia mencoba
mencari tahu tentang aku, misterius, pikirku.