MAKALAH
PENGERTIAN
ZAKAT, RUKUN, DAN SYARAT ZAKAT
Makalah
ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas dari matakuliah Fiqih Zakat dan
Wakaf
Dosen
Pengampu :
Ahmad
Fauzi, Lc., M.H.I
Disusun
oleh :
Kelompok
I
Nur
Fitriyani (17401153356)
PERBANKAN
SYARIAH III C
FAKULTAS
EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI TULUNGAGUNG
SEPTEMBER
2016
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Zakat adalah rukun Islam ketiga setelah syahadat dan
shalat. Zakat merupakan sendi pokok agama yang sangat penting, bukan saja
karena ia merupakan kewajiban utama kepada Allah yang wajib ditunaikan, namun
kewajiban ini mengandung ekses strategis dalam rangka membangun kekuatan
ekonomi masyarakat Islam. Sebuah realita yang tidak dapat dipungkiri bersama
terpampang dihadapan kita, bahwa kehidupan ekonomi masyarakat dunia memiliki
ketimpangan diantara sebagian masyarakat dengan sebagian lainnya. Beberapa
kelompok masyarakat memiliki kekayaan yang luar biasa banyak, sedangkan
beberapa kelompok lainnya mengalami kesulitan ekonomi yang serius, bahkan hanya
untuk memenuhi kebutuhan pokok kesehariannya. Realitas ini muncul dan selalu
ada dikarenakan sistem nilai yang mengatur tata kehidupan ekonomi masyarakat
memang tidak menjamin terselesaikannya kesenjangan ekonomi ini dengan baik.
Demikian itu karena ia dirumuskan tanpa rujukan nilai – nilai ilahiyah. Padahal
nilai – nilai ilahiyah itulah sebuah nilai yang ketika menetapkan aturan –
aturannya jauh dari unsur – unsur kepentingan subjektif, karena datang dari
Dzat yang menciptakan dan menguasai seluruh makhluk.
Konsep zakat, sebagai konsep yang ditetapkan oleh
Allah Swt, diturunkan untuk menjamin terjadinya proses ta’awun atau kerja sama
antar hamba – hamba Allah dalam membangun kehidupan ekonominya. Demikian itu
karena merupakan sunnatullah bahwa manusia berbeda kondisinya antara yang satu
dengan yang lain. Zakat disyariatkan memang dengan tujuan menciptakan
keharmonisan hubungan antara si kaya dengan si miskin. Zakat ditetapkan bukan
untuk menghilangkan kemiskinan, juga bukan untuk merampas harta dari si kaya.
Ini karena Islam sendiri mengakomodasi kepemilikan pribadi hingga batas yang
sangat jauh. Yang diinginkan Islam hanyalah bagaimana agar harta sisa dari si
kaya bisa memberi manfaat dan tersalurkan kepada mereka yang kekurangan. Dengan
begitulah maka kesenjangan ekonomi tidak berbuah kecemburuan, tidak menimbulkan
dengki dan kebencian.
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
definisi zakat ?
2. Bagaimana
dalil – dalil disyariatkannya zakat ?
3. Bagaimana
sebab, syarat dan rukun zakat ?
C.
Tujuan
Pembahasan
1. Memahami
dan mengetahui definisi zakat
2. Memahami
dan mengetahui dalil – dalil disyariatkannya zakat
3. Memahami
dan mengetahui sebab, syarat dan rukun zakat
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Definisi Zakat
Secara bahasa, zakat berarti tumbuh (numuww) dan
bertambah (ziyadah). Jika diucapkan, zaka
al-zar’, artinya adalah tanaman itu tumbuh dan bertambah. Jika diucapkan zakat al-nafaqah, artinya nafkah tumbuh
dan bertambah jika diberkati. Kata ini juga sering dikemukakan untuk makna thaharah (suci). [1]
Maka orang yang berzakat berarti membersihkan dan mensucikan diri. Berzakat
juga berarti mengembangkan hartanya (diakhirat), selain bahwa zakat berarti
menciptakan keberkahan.
Seseorang yang membayar zakat karena keimanannya
niscaya akan memperoleh kebaikan yang banyak, karena jiwa dan hartanya menjadi
suci dan bersih.
Allah Swt. Berfirman,
“Pungutlah
zakat dari sebagian kekayaan mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dari
mensucikan mereka” (At – Taubah : 103).
Sedekah dan zakat termasuk didalamnya, merupakan
amalan yang sangat dicintai Allah, hingga uang yang disedekahkan sesungguhnya
akan berkembang penuh berkah.[2]
Maksudnya, zakat itu akan mensucikan orang yang mengeluarkannya dan akan
menumbuhkan pahalanya. Adapun zakat menurut syara’ berarti hak yang wajib
(dikeluarkan dari) harta.
Mazhab Maliki mendefinisikannya dengan,
“Mengeluarkan sebagian yang khusus dari harta yang khusus pula yang telah
mencapai nishab (batas kuantitas yang
mewajibkan zakat) kepada orang – orang yang berhak menerimanya (mustahiqq)-nya. Dengan catatan,
kepemilikan itu penuh dan mencapai hawl (setahun),
bukan barang tambang dan bukan pertanian”.
Mazhab Hanafi mendefinisikan zakat
dengan,”Menjadikan sebagian harta yang khusus dari harta yang khusus sebagai
milik orang yang khusus, yang ditentukan oleh syariat karena Allah swt.” Kata
“Menjadikan sebagian harta milik” (tamlik)
dalam definisi di atas dimaksudkan sebagai penghindaraan dari kata ibahah ( pembolehan).
Dengan demikian, seandainya seseorang memberi makan
seorang anak yatim dengan niat mengeluarkan zakat, zakat dengan cara tersebut
dianggap tidak sahih. Lain halnya dengan jika makanan itu diserahkan kepada
anak yatim tersebut, seperti halnya ketika dia memberikan pakaian kepadanya,
dengan syarat, kepemilikan harta itu dikaitkan kepadanya (yakni, orang yang
menerimanya). Jika harta yang diberikan itu hanya dihukumi sebagai nafkah
kepada anak yatim, syarat – syarat tersebut tidak diperlukan.
Yang dimaksud dengan kata “Sebagian harta” dalam
pernyataan diatas ialah keluarnya manfaat (harta) dari orang yang
memberikannya. Dengan demikian, jika seseorang menyuruh orang lain untuk
berdiam dirumahnya selama setahun dengan diniati sebagai zakat, hal itu belum
bisa dianggap sebagai zakat.
Yang dimaksud dengan “bagian yang khusus” ialah
kadar yang wajib dikeluarkan. Maksud “harta yang khusus” adalah nishab yang ditentukan oleh syariat.
Maksud “orang yang khusus” ialah para mustahiqq
zakat. Yang dimaksud dengan “yang ditentukan syariat” ialah seperempat
puluh (yakni 2,5%) dari nishab yang ditentukan, dan yang telah mencapai hawl. Dengan ukuran seperti inilah zakat
nafilah dan zakat fitrah dikecualikan. Sedangkan yang dimaksud dengan
pernyataan “karena Allah swt.” Adalah bahwa zakat itu dimaksudkan untuk
mendapatkan ridha Allah SWT.
Menurut mazhab Syafi’I, zakat adalah sebuah ungkapan
untuk keluarnya harta atau tubuh sesuai dengan cara khusus. Sedangkan menurut
mazhab Hanbali, zakat ialah hak yang wajib (dikeluarkan) dari harta yang khusus
untuk kelompok yang khusus pula. Yang dimaksud dengan kelompok khusus adalah
delapan kelompok yang disyariatkan oleh Allah SWT. Dalam ayat Al-Quran berikut
:
“Sesungguhnya
zakat – zakat itu hanyalah untuk orang – orang fakir, orang – orang miskin,
pengurus – pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan
budak), orang – orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang – orang yang
sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan
Allah Maha Mengetahui Lagi Maha Bijaksana”(QS. 9:60)
Yang dimaksud dengan “waktu yang khusus” ialah
sempurnanya kepemilikan selama satu tahun (hawl),
baik dalam binatang ternak, uang, maupun barang dagangan, yakni sewaktu
dituainya biji – bijian, dipetiknya buah – buahan, dikumpulnya madu, atau
digalinya barang tambang, yang semuanya wajib dizakati. Maksud lain dari “waktu
yang khusus” ialah waktu terbenamnya matahari pada malam hari raya karena pada
saat itu diwajibkan zakat fitrah.
Pernyataan “wajib” berarti bahwa zakat tersebut
bukan sunnah, seperti halnya mengucapkan salam atau mengantarkan jenazah.
Pernyataan “harta” berarti bahwa zakat bukan berupa jawaban terhadap salam.
Pernyataan “khusus” berarti bahwa harta yang dizakati bukan harta yang
berstatus wajib, artinya harta itu bukan harta yang harus dibayarkan untuk
utang atau untuk memberi nafkah kepada keluarga. Pernyataan “kelompok yang
khusus” berarti bahwa waktu yang dikeluarkannya zakat tersebut bukan waktu
zakat yang dinazari atau zakat kafarat.
Dari sini jelaslah bahwa kata zakat, menurut terminologi
para fuqaha, dimaksudkan sebagai “penuaian”, yakni penuaian hak yang wajib yang
terdapat dalam harta. Zakat juga dimaksudkan sebagai bagian harta tertentu dan
yang diwajibkan oleh Allah untuk diberikan kepada orang – orang fakir. Zakat
dinamakan sedekah karena tindakan itu akan menunjukkan kebenaran (shidq) seorang hamba dalam beribadah dan
melakukan ketaatan kepada Allah SWT.[3]
B.
Dalil
– Dalil Disyariatkannya Zakat
Zakat adalah rukun Islam ketiga yang diwajibkan di
Madinah pada bulan Syawal tahun kedua Hijriyah, setelah diwajibkannya puasa
Ramadhan dan zakat fitrah. Ayat – ayat zakat, sedekah, dan infak yang turun di
Makkah baru berupa anjuran dan penyampainnya menggunakan metodologi pujian bagi
yang melaksanakannya dan teguran bagi yang meninggalkannya.
Zakat tidak diwajibkan kepada semua nabi dan rasul
karena zakat berfungsi sebagai alat pembersih kotoran dan dosa, sedangkan para
nabi dan rasul terbebas dari dosa dan kemaksiatan karena mereka mendapat
jaminan penjagaan dari Allah SWT. Disamping itu, kekayaan yang ada ditangan
para nabi adalah titipan dan amanah Allah SWT. Yang tidak dapat diwariskan.
Landasan kewajiban zakat disebutkan dalam Al –
Quran, Sunnah Nabi, dan disepakati oleh para ulama.
Dalil Al – Quran :
Allah
Swt. Berfirman
“Dirikanlah
shalat dan tunaikan zakat dan ruku’lah bersama orang – orang yang ruku’(Al –
Baqarah: 43).”
Dan firman-Nya :
“Ambillah
zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan
mensucikan mereka dan doakanlah mereka karena sesungguhnys doamu dapat member
keterangan bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar Lagi Maha Mengetahui (At –
Taubah: 103).”
Juga firman-Nya :
“Makanlah
buahnya jika telah berbuah dan tunaikan haknya (kewajibannya) di hari memetik
hasilnya (dengan dikeluarkan zakatnya) (Al-An’am :141).”
Dari Sunnah Nabi
Dari Abdullah bin Umar, Rasulullah SAW. bersabda,
“Islam
dibangun atas limar ukuun : Syahadat tiada Tuhan kecuali Allah dan Muhammad saw
utusan Allah, menegakkan shalat, membayar zakat, menunaikan haji dan puasa Ramadhan
(HR. Bukhari dan Muslim).”
Dari Ali bin Abi Thalib, Nabi Saw. bersabda,
“Sesungguhnya
Allah mewajibkan (zakat) atas orang – orang kaya dari umat Islam pada harta
mereka dengan batas sesuai kecukupan fuqara diantara mereka. Orang – orang
fakir tidak akan kesulitan pada saat mereka lapar atau mereka tidaklah
telanjang kecuali karena ulah orang – orang kaya diantara mereka. Ingatlah
bahwa Allah akan menghisab mereka dengan keras dan mengadzab mereka dengan
pedih (HR. Thabrani).”
Ijma’ Para Ulama
Karena dalil – dalil yang menunjukkan kewajiban
zakat demikian jelas dan bersifat qath’iy, maka para ulama, baik salaf (klasik) maupun khalaf (kontemporer), telah sepakat tentang
kewajibannya. Sebagaimana mereka sepakat dalam hal ini, mereka juga sepakat bagi
mereka yang mengingkarinya, bahwa mereka telah kafir (keluar) dari Islam.[4]
C.
Sebab,
Syarat dan Rukun Zakat
Mazhab Hanafi berpendapat bahwa penyebab zakat ialah
adanya harta milik yang mencapai nishab dan
produktif kendatipun kemampuan produktivitas itu baru berupa perkiraan. Dengan
syarat, pemilikan harta tersebut telah berlangsung satu tahun, yakni tahun
qamariyah bukan tahun syamsyiah, dan pemiliknya tidak memiliki utang yang
berkaitan dengan hak manusia. Syarat lainnya, harta tersebut melebihi kebutuhan
pokoknya.
Perlu dicatat bahwa sebab dan syarat merupakan
tempat bergantungnya wujud sesuatu. Hanya saja, kepada sebablah kewajiban
disandarkan, lain halnya dengan syarat. Dengan demikian, barang siapa yang
hartanya tidak mencapai nishab, dia
tidak berkewajiban mengeluarkan zakat. Tidak ada zakat dalam harta wakaf karena
wakaf tidak ada yang memiliki. Begitu juga, zakat tidak diwajibkan dalam harta
yang ditahan oleh musuh didaerah mereka sebab meskipun harta tersebut dimiliki,
ia berada ditangan musuh.
Yang dimaksud
dengan nishab ialah kadar yang
ditentukan oleh syariat sebagai ukuran mengenai kewajiban mengeluarkan zakat.
Atas dasar ini, zakat tidak diwajibkan terhadap harta yang dibeli untuk
perdagangan yang belum dimiliki, yakni karena kepemilikan itu belum sempurna.
Menurut kesepakatan semua mazhab, harta benda yang menjadi kebutuhan pokok
tidak wajib dizakati, misalnya pakaian untuk menutupi tubuh, harta yang
dipakai, rumah tempat tinggal, perabot rumah tangga, binatang kendaraan,
senjata yang digunakan, buku – buku ilmiah – yang tidak diniati sebagai buku
dagangan – dan perabot kerja. Harta benda diatas tidak wajib dizakati karena
semuanya merupakan keperluan – keperluan pokok dan tidak produktif.
Begitu juga menurut mazhab Hanafi, harta yang hilang
yang baru ditemukan setelah beberapa tahun, yakni harta yang tidak produktif,
tidak wajib dizakati. Demikian pula harta yang tenggelam kedalam laut yang baru
ditemukan setelah beberapa tahun berikutnya. Zakat juga tidak diwajibkan
terhadap harta yang di-ghashab oleh
orang lain, yang tidak mempunyai bukti – bukti kepemilikannya. Namun, jikia
harta yang di-ghashab tersebut
memiliki bukti kepemilikannya, harta tersebut wajib dizakati, setelah berada
ditangan pemiliknya.
Orang yang memiliki harta benda yang terpendam
disebuah tempat yang tidak diketahui secara jelas, lalu beberapa waktu kemudian
hartanya ditemukan, tidak wajib mengeluarkan zakatnya. Begitu juga, orang yang
menyimpan harta titipan yang terlupakan, yang bukan milik temannya; yakni milik
orang lain, tidak wajib mengeluarkan zakatnya. Akan tetapi, jika titipan yang
terlupakan itu milik temannya, zakatnya wajib dikeluarkan. Kelupaan terhadap
barang titipan tersebut terjadi karena sikap meremehkan yang tidak pada
tempatnya.
Harta benda yang diutangi oleh orang lain, yang
pengutangnya memungkirinya selama beberapa tahun dan tidak ada bukti atas utang
tersebut, tetapi, kemudian dia mengakuinya dihadapan orang, tidak wajib
dikeluarkan zakatnya. Begitu juga, harta yang diambil secara zalim, kemudian
kembali kepemiliknya, tidak wajib dizakati. Adapun jika harta tersebut diutangi
oleh orang yang mengakuinya dan kaya, atau oleh orang miskin, atau oleh orang
yang tidak mempunyai uang, atau oleh orang yang memungkirinya tetapi ada bukti
bahwa dia berhutang, maka harta tersebut wajib dizakati. Untuk orang yang
memungkiri bahwa dirinya berhutang, menurut pendapat yang bisa dipercaya, harta
tersebut baru wajib dizakati ketika telah berada ditangan pemiliknya.
Dalil mazhab Hanafi mengenai tidak wajibnya zakat
pada harta – harta diatas ialah hadist berikut.
“Tidak ada
zakat dalam harta dhimar”
Maksud harta dhimar
ialah harta yang tidak bisa dimanfaatkan, padahal ia masih menjadi milik
pemiliknya.
Menurut kesepakatan ulama, zakat tidak diwajibkan
atas harta yang kepemilikannya belum mencapai satu tahun (hawl). Hal ini ditegaskan oleh hadist Nabi yang penjelasannya akan
penulis uraikan dalam pembahasan mengenai syarat zakat.
Zakat juga, menurut kesepakatan ulama, tidak
diwajibkan pada harta benda berupa permata, mutiara, dan yang sejenis dengan
keduanya, misalnya batu mulia yang berwarna indah, batu permata, dan biji
mutiara sebab tidak ada nash yang mewajibkan barang – barang seperti ini untuk
dizakati. Lain halnya bila barang – barang tersebut dijadikan barang dagangan.
Menurut Jumhur, binatang ternak yang rumputnya
diupayakan oleh pemiliknya (ma’lufah)
atau binatang yang dipekerjakan tidak wajib dizakati. Zakat hanya diwajibkan
atas binatang yang merumput sendiri di tempat terbuka (sa’imah). Namun, mazhab Maliki mewajibkan dikeluarkannya zakat pada
binatang – binatang tersebut.
a.
Rukun
Zakat
Rukun
zakat ialah mengeluarkan sebagian dari nishab
(harta), dengan melepaskan kepemilikan terhadapnya, menjadikannya sebagai
milik orang fakir, dan menyerahkannya kepada atau harta tersebut diserahkan
kepada wakilnya; yakni imam atau orang yang bertugas untuk memungut zakat.
b.
Syarat
Zakat
Zakat
mempunyai beberapa syarat wajib dan syarat sah. Menurut kesepakatan ulama,
syarat wajib zakat adalah merdeka, muslim, baligh, berakal, kepemilikan harta
yang penuh, mencapai nisab, dan mencapai hawl.
Adapun
syarat sahnya, juga menurut kesepakatan mereka, adalah niat yang menyertai
pelaksanaan zakat.
1. Syarat Wajib Zakat
Syarat
wajib zakat, yakni kefarduannya, ialah sebagai berikut:
1.
Merdeka
Menurut
kesepakatan ulama, zakat tidak wajib atas hamba sahaya karena hamba sahaya
tidak mempunyai hak milik. Tuannyalah yang memiliki apa yang ada ditangan
hambanya. Begitu juga, mukatib (hamba sahaya yang dijanjikan akan dibebaskan
oleh tuannya dengan cara menebus dirinya) atau yang semisal dengannya tidak
wajib mengeluarkan zakat, karena kendatipun dia memiliki harta, hartanya tidak
dimiliki secara penuh. Pada dasarnya, menurut jumhur, zakat diwajibkan atas tuan
karena dialah yang memiliki harta hambanya. Oleh karena itu, dialah yang wajib
mengeluarkan zakatnya, seperti halnya harta yang berada ditangan syarik (partner) dalam sebuah usaha
perdagangan. Mazhab Maliki berpendapat bahwa tidak ada kewajiban zakat pada
harta milik seorang hamba sahaya, baik atas nama hamba sahaya itu sendiri
maupun atas nama tuannya karena harta milik hamba sahaya tidak sempurna (naqish), padahal zakat pada hakikatnya
hanya diwajibkan pada harta yang dimiliki secara penuh. Selain itu, tuan hamba
sahaya tidak berhak memiliki harta hamba sahayanya.
2.
Islam
Menurut
ijma’, zakat tidak wajib atas orang kafir karena zakat merupakan ibadah mahdhah yang suci sedangkan orang kafir
bukan orang suci. Mazhab Syafi’I, berbeda dengan mazhab – mazhab yang lainnya,
mewajibkan orang murtad untuk mengeluarkan zakat hartanya sebelum riddah-nya terjadi, yakni harta yang
dimilikinya ketika dia masih menjadi seorang muslim. Riddah, menurut mazhab ini, tidak menggugurkan kewajiban zakat.
Berbeda dengan Abu Hanifah. Dia berpendapat bahwa Riddah menggugurkan kewajiban zakat sebab orang murtad sama dengan
orang kafir. Adapun harta yang dimiliki sewaktu Riddah berlangsung, menurut pendapat mazhab Syafi’I yang paling
sahih, hukumnya adalah bergantung pada harta itu sendiri. Jika orang yang
murtad tadi kembali kedalam agama Islam sedangkan hartanya (yang didapatkan
sewaktu Riddah-nya) masih ada, zakat
wajib atasnya. Tetapi, jika harta tersebut tidak ada, dia tidak berkewajiban
mengeluarkan zakat.
Para
fuqaha tidak mewajibkan zakat atas orang kafir asli kecuali dalam dua hal,
yaitu
Pertama, sepersepuluh.
Mazhab Maliki, Hanbali dan Syafi’I berpendapat bahwa kafir dzimmi, perdagangan yang dibawa olehnya ke Makkah dan Madinah atau
daerah – daerah sekitanya diambil seperduapuluh darinya, baik perdagangan
tersebut berupa gandum maupun khususnya minyak tanah.
Mengenai
harta yang diambil dari kafir harbi dan
dzimmi, Abu Hanifah mengajukan nishab sebagai syaratnya. Dia
berpendapat bahwa khusus untuk kafir
dzimmi harta yang diambil darinya adalah seperduapuluh, sedangkan kafir harb sebanyak sepersepuluh.
Diambilnya harta dari mereka ini ialah sebagai balasan atas perlindungan yang
mereka dapatkan.
Menurut
mazhab Syafi’I, tidak sedikit pun harta yang diambil dari mereka kecuali dengan
adanya perjanjian dikalangan mereka. Dengan demikian, jika seseorang kafir harbi telah mengadakan perjanjian
untuk menyerahkan hartanya sepersepuluh, harta itu hendaknya diambil. Namun,
jika tidak ada perjanjian diantara mereka, tidak sedikitpun harta yang diambil
dari kafir harbi tersebut.
Kedua, Abu
Hanifah, Syafi’I dan Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa khusus untuk orang
nasrani dari bani Tughlub, zakatnya mesti dilipatgandakan karena zakat
berfungsi sebagai pengganti upeti. Lagipula, tindakan ini merupakan pelanjutan
tindakan Umar r.a. Adapun menurut Malik, pengkhususan itu tidak di nash kan dalam Islam.
3.
Baligh
dan Berakal
Keduanya
dipandang sebagai syarat oleh mazhab Hanafi. Dengan demikian, zakat tidak wajib
diambil harta anak kecil dan orang gila sebab keduanya tidak termasuk dalam
ketentuan orang yang wajib mengerjakan ibadah; seperti shalat dan puasa,
sedangkan menurut jumhur, keduanya bukan merupakan syarat. Oleh karena itu,
zakat wajib dikeluarkan dari harta anak kecil dan orang gila. Zakat tersebut
dikeluarkan oleh walinya. Pendapat ini berdasarkan hadist.
“barang siapa menjadi wali seorang anak yatim
yang mempunyai harta, hendaknya dia memperdagangkannya untuknya. Dia tidak
boleh membiarkan harta tersebut habis dimakan zakat”.
Lagi
pula, zakat dikeluarkan sebagai pahala untuk orang yang mengeluarkannya dan
bukti solidaritas terhadap orang fakir. Anak kecil dan orang gila termasuk juga
orang yang berhak mendapatkan pahala dan membuktikan rasa solidaritas mereka.
Atas dasar ini, mereka wajib member nafkah kepada kerabat – kerabat mereka.
Pendapat ini, lebih baik sebab didalamnya terkandung upaya untuk merealisasikan
kemaslahatan orang – orang fakir, memenuhi kebutuhan mereka, menjaga harta dari
rongrongan orang – orang yang mengincarnya, menyucikan jiwa, dan melatih sifat
suka menolong dan dermawan.
4.
Harta
yang dikeluarkan adalah Harta yang Wajib Dizakati
Harta
yang mempunyai criteria ini ada lima jenis, yaitu : a) uang, emas, perak, baik
berbentuk uang logam maupun uang kertas; b) barang tambang barang temuan; c)
barang dagangan; d) hasil tanaman dan buah – buahan; dan e) menurut jumhur,
binatang ternak yang merumput sendiri, atau menurut mazhab Maliki, binatang
yang diberi makan oleh pemiliknya (ma’lufah).
Harta
yang dizakati disyaratkan produktif, yakni berkembang sebab salah satu makna
zakat adalah berkembang dan produktivitas tidak dihasilkan kecuali dari barang
– barang yang produktif. Yang dimaksud dengan berkembang disini bukan berarti
berkembang yang sebenarnya. Akan tetapi, maksud berkembang disini ialah bahwa
harta tersebut disiapkan untuk dikembangkan, baik melalui perdagangan maupun
kalau berupa binatang diternakkan. Pendapat ini adalah menurut jumhur.
Alasannya, karena peternakan menghasilkan keturunan dan lemak dari binatang tersebut
dan perdagangan menyebabkan didapatkannya laba. Dengan demikian, sebab
ditempatkan pada musabab (akibat).
Atas
dasar ini, zakat tidak wajib dikeluarkan dari mutiara, intan, barang tambang
selain emas dan perak, barang – barang yang dikenakan (dipakai), harta milik
pokok, tempat tinggal, kuda, keledai, khimar, singa, anjing yang dilatih, madu,
susu, perabot – perabot kerja, dan buku – buku ilmu pengetahuan, kecuali jika
diperdagangkan.
Abu
Hanifa berpendapat bahwa kuda yang digembalakan atau yang dimiliki untuk
dikembangbiakkan keturunannya, wajib dikeluarkan zakatnya, sedangkan menurut
pendapat yang difatwakan dalam mazhabnya, kuda tersebut tidak wajib dikeluarkan
zakatnya. Mazhab Hanafi, Hanbali, dan Zhahiri mewajibkan dikeluarkannya zakat
pada madu, sedangkan mazhab Maliki dan Syafi’I tidak mewajibkannya.
5. Harta yang Dizakati Telah Mencapai
Nisab atau Senilai Dengannya
Maksudnya ialah nisab yang ditentukan
oleh syara’ sebagai tanda kayanya seseorang dan kadar – kadar berikut yang
mewajibkannya zakat. Walaupun demikian, kesimpulannya ialah bahwa nisab emas
adalah 20 mitsqal atau dinar. Nisab perak adalah 200 dirham.
Nisab biji – bijian, buah – buahan setelah dikeringkan, menurut selain mazhab
Hanafi ialah 5 watsaq (653 kg). Nisab
kambing adalah 40 ekor, nisab unta 5 ekor, dan nisab sapi 30 ekor.
6. Harta yang Dizakati Adalah Milik
Penuh
Para fuqaha berbeda pendapat tentang apa
yang dimaksud dengan harta milik. Apakah yang dimaksud dengannya ialah harta
milik yang sudah berada ditangan sendiri, ataukah harta milik yang hak
pengeluarannya berada ditangan seseorang, dan ataukah harta yang dimiliki
secara asli.
Mazhab Hanafi berpendapat bahwa yang
dimaksud dengannya ialah harta yang dimiliki secara utuh dan berada ditangan
sendiri yang benar – benar dimiliki. Dengan demikian, binatang – binatang wakaf
yang digembalakan dan kuda – kuda yang diwakafkan tidak wajib dizakati sebab
harta – harta tersebut tidak menjadi hak milik. Harta yang berada dibawah
kekuasaan musuh dan ditempatkan di daerahnya, juga tidak wajib dizakati karena
dengan demikian, menurut mazhab Hanafi, berarti musuh memiliki harta tadi. Oleh
karena itu, hilanglah kepemilikan dari seorang Muslim.
7. Kepemilikan Harta Telah Mencapai
Setahun Menurut Hitungan Tahun Qamariyah
Menurut mazhab hanafi, nisab disyaratkan
harus sempurna antara dua sisi tahun, baik pada pertengahan tahun tersebut
terdapat bulan yang nisab hartanya sempurna maupun tidak. Dengan demikian,
apabila seseorang memiliki harta yang telah mencapai nisab pada permulaan
tahun, kemudian harta tersebut tetap utuh sampai berakhirnya tahun tersebut,
dia wajib mengeluarkan zakatnya. Dengan catatan bahwa selama setahun tadi,
harta tersebut tidak mengalami penyusutan secara penuh, apalagi lenyap
semuanya. Zakat juga diwajibkan ketika harta tersebut berkurang pada
pertengahan tahun tetapi kemudian utuh kembali pada akhir tahun. Atas dasar
ini, berkurangnya harta pada pertengahan tahun tidak berpengaruh jika pada awal
dan akhirnya utuh kembali. Harta yang dimanfaatkan, meskipun berupa hibah atau warisan pada pertengahan tahun dipandang sebagai harta asli. Ia
wajib dikeluarkan zakatnya karena pemeliharaan terhadap harta yang dimanfaatkan
tersebut dan pencocokan tahunnya sulit dilakukan, apalagi jika harta yang telah
mencapai nisab itu berupa beberapa dirham yang setiap harinya diambil satu atau
dua dirham. Pada dasarnya, hawl disyaratkan
sebagai kemudahan untuk orang yang mengeluarkan zakat.
8. Harta Tersebut Bukan Merupakan
Harta Hasil Utang
Mazhab hanafi memandangnya sebagai
syarat dalam semua zakat selain zakat harts
(biji – bijian dan yang menghasilkan minyak nabati), sedangkan mazhab
hanbali memandangnya sebagai syarat dalam semua harta yang akan dizakati.
Mazhab Maliki sendiri berpendapat bahwa syarat tersebut ditujukan untuk zakat
emas dan perak, bukan untuk zakat harts, binatang
ternak, barang tambang. Adapun mazhab Syafi’I berpendapat bahwa hal diatas termasuk
syarat.
9. Harta Yang Akan Dizakati Melebihi
Kebutuhan Pokok
Mazhab Hanafi mensyaratkan agar harta
yang wajib dizakati terlepas dari utang dan kebutuhan pokok sebab orang yang
sibuk mencari harta untuk kedua hal ini sama dengan orang yang tidak mempunyai
harta. Ibnu Malik menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan kebutuhan pokok ialah
harta yang secara pasti bisa mencegah seseorang dari kebinasaan, misalnya
nafkah, tempat tinggal, perkakas perang, pakaian yang diperlukan untuk
melindungi panas dan dingin, dan pelunasan utang. Orang yang memiliki utang
perlu melunasi utangnya dengan harta yang dimilikinya yang telah mencapai
nisab. Hal ini dimaksudkan untuk menghindarkan dirinya dari penahanan yang pada
dasarnya sama juga dengan kebinasaan. Harta yang digunakan untuk pelunasan
utang sama dengan perkakas pekerjaan, perabot rumah tangga, binatang kendaraan,
dan buku – buku ilmiah bagi pemiliknya. Menurut mazhab ini, yakni mazhab
Hanafi, kebodohan adalah sama dengan kebinasaan.
2. Syarat – Syarat Sah Pelaksanaan
Zakat
a.
Niat
Para fuqaha sepakat bahwa niat
merupakan syarat pelaksanaan zakat. Pendapat ini berdasarkan sabda Nabi Saw
berikut :
“Pada dasarnya, amalan – amalan itu
dikerjakan dengan niat.”
Pelaksanaan
zakat termasuk salah satu amalan. Ia merupakan ibadah seperti halnya salat.
Oleh karena itu, ia memerlukan adanya niat untuk membedakan antara ibadah yang
fardu dan nafilah.
b.
Zakat dikeluarkan setelah dia diwajibkan
dengan adanya hawl, atau harta
tersebut merupakan harta yang baik (thayyib), atau telah ada ditangan. Dengan
demikian, jika zakat dikeluarkan sebelum waktu wajibnya tiba, zakat tersebut
tidah shahih. Pendapat ini bertentangan dengan pendapat jumhur. Mengakhirkan
zakat sesudah waktu wajibnya tiba, padahal ada kemampuan untuk mengeluarkannya
secara cepat menjadi sebab adanya tanggungan. Dan hal itu merupakan kemaksiatan.
c.
Menyerahkan harta yang dizakati kepada mustahiqq-nya, bukan kepada yang
lainnya.
d.
Harta yang dikeluarkan zakatnya adalah
harta yang wajib dizakati.[5]
BAB
III
PENUTUP
Ahmadi, Sari Priyatna
Yeni. 2004. Zakat, Pajak, Dan Lembaga Keuangan Islami Dalam Tinjauan Fiqih.
Solo : ERA INTERMEDIA.
Al-Zuhayly Wahbah.
2008. Zakat , Kajian Berbagai Mazhab. Bandung : PT REMAJA ROSDAKARYA
[1]
Wahbah Al-Zuhayly, Zakat , Kajian Berbagai Mazhab, (Bandung : PT REMAJA
ROSDAKARYA, 2008), hlm 82
[2]
Ahmadi, Yeni Priyatna Sari. Zakat, Pajak, Dan Lembaga Keuangan Islami Dalam
Tinjauan Fiqih, (Solo : ERA INTERMEDIA, 2004), hlm : 15
[3]
Wahbah Al-Zuhayly, Zakat : Kajian Berbagai…hlm :83 - 85
[4]
Wahbah Al-Zuhayly, Zakat, Kajian Berbagai…, hlm : 86 - 89
[5]
Ahmadi, Yeni Priyatna Sari. Zakat, Pajak, Dan Lembaga Keuangan…,hlm : 95 -115